Presiden
Republik Indonesia,
Menimbang:
a.bahwa bagi
kepentingan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan kebudayaan kebangsaan
Indonesia umumnya, kemajuan rakyat dibidang pendidikan dan pengajaran
khususnya, terutama dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional semesta
berencana, dianggap perlu membuat suatu Undang-undang yang memuat
ketentuan-ketentuan pokok tentang pendidikan dan pengajaran tinggi;
b.bahwa untuk melaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai garis-garis besar haluan Negara, khususnya di bidang pendidikan dan pengajaran tinggi, perlu diadakan ketentuan-ketentuan pokok untuk menyelenggarakannya.
b.bahwa untuk melaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai garis-garis besar haluan Negara, khususnya di bidang pendidikan dan pengajaran tinggi, perlu diadakan ketentuan-ketentuan pokok untuk menyelenggarakannya.
Mengingat:
1.pasal-pasal
5, 15, 20, 28, 29, 31 dan 32 Undang-undang Dasar;
2.undang-undang
Republik Indonesia (dulu) Nomor 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah jo. Undang-undang Nomor 12 tahun 1954 (Lembaran Negara
tahun 1954 Nomor 38);
3.Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor I/MPRS/1960 dan Nomor II/MPRS/
1960 beserta lampiran-lampirannya;
Dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;
MEMUTUSKAN :
I.Membatalkan Undang-undang Nomor 7 drt tahun 1950 (RIS) dan peraturan-peraturan lain tentang pendidikan dan pengajaran tinggi yang bertentangan dengan Undang-undang ini;
II.Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG
TENTANG PERGURUAN TINGGI.
BAB I
KETENTUAN
UMUM.
Pasal 1
Perguruan
Tinggi adalah lembaga ilmiah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pendidikan
dan pengajaran di atas perguruan tingkat menengah, dan yang memberikan
pendidikan dan pengajaran berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia dan
dengan cara ilmiah.
Pasal 2.
Perguruan
Tinggi pada umumnya bertujuan:
(1)membentuk
manusia susila yang berjiwa Pancasila dan bertanggung-jawab akan terwujudnya
masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, materiil dan spirituil:
(2)menyiapkan
tenaga yang cakap untuk memangku jabatan yang memerlukan pendidikan tinggi dan
yang cakap berdiri sendiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan;
(3)melakukan
penelitian dan usaha kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan
kehidupan kemasyarakatan.
Pasal 3.
Penyelenggaraan
Perguruan Tinggi dilakukan oleh :
a.Pemerintah
b.Badan hukum Swasta.
Pasal 4.
Kebebasan
ilmiah dan kebebasan mimbar pada Perguruan Tinggi diakui dan dijamin sepanjang.
tidak bertentangan dengan serta mengindahkan dasar dan garis-garis besar haluan
Negara.
Pasal 5.
Hak
berorganisasi bagi mahasiswa, pegawai dan pengajar dalam lingkungan Perguruan
Tinggi diakui dan pelaksanaannya dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB II
BENTUK,
SUSUNAN DAN TUGAS.
Pasal 6.
Perguruan
Tinggi dapat berbentuk :
1.Universitas
2.Institut 3.Sekolah Tinggi 4.Akademi 5.Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 7.
(1) Universitas tersusun atas dasar
keseluruhan dan kesatuan ilmu pengetahuan dan terbagi atas sekurang-kurangnya 4
golongan fakultas yang meliputi ilmu agama/kerokhanian, ilmu kebudayaan, ilmu
sosial, ilmu eksakta dan teknik.
(2)Golongan
fakultas ilmu agama/kerokhanian terdiri atas:
a.fakultas
ilmu agama b.fakultas ilmu jiwa.
(3)Golongan
ilmu kebudayaan terdiri atas :
a.fakultas
sastra b.fakultas sejarah c.fakultas ilmu pendidikan d.fakultas filsafah.
(4)Golongan
fakultas ilmu sosial terdiri atas :
a.fakultas
hukum b.fakultas ekonomi c.fakultas sosial politik d.fakultas ketatanegaraan
dan ketataniagaan.
(5)Golongan
fakultas ilmu eksakta dan teknik terdiri atas :
a.fakultas
ilmu hayat b.fakultas kedokteran c.fakultas kedokteran gigi d.fakultas farmasi
e.fakultas kedokteran hewan f.fakultas pertanian g.fakultas ilmu pasti dan ilmu
alam h.fakultas teknik i.fakultas geologi j.fakultas oceanografi/oceanologi
(6)Fakultas-fakultas
lain dapat dibentuk dengan Peraturan Pemerintah dengan mengingat keperluan
masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.
(7)Untuk
kepentingan pendidikan dan pengajaran maka dua fakultas atau lebih dapat
dijadikan gabungan fakultas, sedang satu fakultas dapat dipecah menjadi dua
fakultas atau lebih.
(8)Setiap pendirian
universitas setelah berlakunya Undang-undang ini, sedikit-dikitnya terdiri dari
tiga fakultas dimana dua diantaranya harus dari ilmu alam/pasti/biologi,
sedangkan yang lain dapat dari golongan fakultas lainnya.
(9)Penyelenggaraan
fakultas ilmu agama diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8.
(1)Institut
memberi pendidikan dan pengajaran tinggi serta melakukan penelitian dalam
beberapa cabang ilmu pengetahuan yang sejenis.
(2)Sekolah
Tinggi memberi pendidikan dan pengajaran tinggi serta melakukan penelitian
dalam satu cabang ilmu pengetahuan.
(3) Akademi
memberi pendidikan dan pengajaran tinggi yang ditujukan kepada keahlian khusus.
BAB III
TINGKAT DAN
SUSUNAN PELAJARAN, UJIAN DAN GELAR.
Pasal 9.
(1)Tingkat-tingkat
pelajaran pada Perguruan Tinggi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)a.Pada
Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta diberikan Pancasila dan Manifesto
Politik Republik Indonesia sebagai mata pelajaran. b.Pada Perguruan Tinggi
Negeri diberikan pendidikan agama sebagai mata pelajaran, dengan pengertian
bahwa mahasiswa berhak tidak ikut-serta, apabila menyatakan keberatannya.
(3)Pelaksanaan
ayat (2) sub a dan b diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4)Susunan
mata pelajaran, penyelenggaraan studium henerale dan ujian pada Perguruan
Tinggi diatur dengan Peraturan Menteri.
(5)Perguruan
Tinggi mengusahakan terselenggaranya studi terpimpin.
Pasal 10.
(1)Kepada
lulusan ujian Perguruan Tinggi diberikan gelar perguruan tinggi menurut tingkat
kebulatan pelajarannya.
(2)Gelar
ilmiah doktor diberikan kepada lulusan ujian perguruan tinggi setelah menempuh
promosi dengan membuat karya ilmiah yang diterima baik oleh suatu universitas.
(3)Gelar
dokter honoris causa dapat diberikan kepada orang-orang yang dianggap telah
mempunyai jasa yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan dan umat manusia oleh
suatu universitas.
(4)Sebutan,
pemakaian, penyeragaman dan perlindungan gelar-gelar yang termaksud dalam pasal
ini diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan ancaman pidana terhadap
pelanggarannya.
BAB IV
KELENGKAPAN
PERGURUAN TINGGI.
Pasal 11.
(1)Pengajar
pada Perguruan Tinggi terdiri atas pengajar biasa dan pengajar luar biasa.
(2)Pengajar
biasa adalah pegawai tetap pada Perguruan Tinggi, sedang pengajar luar biasa
adalah mereka yang tidak mempunyai kedudukan tersebut tadi.
(3) Pengajar biasa digolongkan dalam
kedudukan guru Besar, Lektor Kepala, Lektor, Lektor Muda, sedang pengajar luar
biasa berkedudukan sebagai Guru Besar luar biasa atau pengajar luar biasa.
(4)Pada
Universitas dan institut dapat diangkat Guru Besar Penelitian.
(5)Syarat-syarat
untuk menjadi pengajar pada Perguruan Tinggi ialah keahlian, berjiwa Pancasila
dan Manifesto Politik Republik Indonesia, cakap dan berbudi tinggi dan untuk
menjadi Guru Besar selain syarat-syarat tersebut harus dipenuhi pula syarat
karya ilmiah atau spesialisasi, yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
(6)Pengajar
biasa dan luar biasa yang mempunyai kedudukan Guru Besar, berhak atas sebutan
jabatan universitar Profesor.
(7)Pemakaian
sebutan profesor diatur dengan Peraturan Pemerintah, dengan ancaman pidana
terhadap pelanggarannya.
Pasal 12.
(1)Universitas/Institut
dipimpin oleh Presiden Universitas/Institut yang dalam segala segi
kedudukannya, baik yang bersifat penyelenggaraan pendidikan maupun tata-usaha, didampingi
oleh Senat Universitas/Institut atas dasar musyawarah.
(2)Sekolah
Tinggi dipimpin oleh Ketua Sekolah Tinggi yang didampingi oleh Senat Sekolah
Tinggi.
Pasal 13.
(1)Pada
Perguruan Tinggi dapat diadakan sebuah Dewan Penyantun.
(2)Dewan
Penyantun mempunyai tugas membantu pimpinan Perguruan Tinggi terutama dalam hal
:
a.menjaga
dan memelihara hubungan baik antara masyarakat, instansi-instansi Pemerintah
dengan Perguruan Tinggi. b.membantu Perguruan Tinggi dalam mengatasi
kesulitan-kesulitan.
(3)a.Dewan
Penyantun dapat meminta laporan/keterangan kepada Pimpian Perguruan Tinggi dan
memberikan pendapat atau pertimbangannya atas kehendak sendiri atau atas
permintaan Pimpinan Perguruan Tinggi. b.Ketua, Wakil Ketua dan para Anggauta
Dewan Penyantun setiap waktu dapat mengunjungi upacara-upacara, rapat-rapat
Badan Kelengkapan dan pelajaran-pelajaran dengan sepengetahuan Pimpinan
Perguruan Tinggi.
Pasal 14.
Setiap kali
dianggap perlu, Menteri dapat mengadakan pertemuan dengan para Pimpinan
Perguruan Tinggi.
Pasal 15.
(1) Dilingkungan Perguruan Tinggi
dapat diadakan Badan Kekeluargaan Perguruan Tinggi yang anggauta-anggautanya
terdiri atas wakil-wakil pengajar, pegawai dan mahasiswa yang bertugas membantu
melancarkan tugas-tugas Perguruan Tinggi dalam bidang tata-usaha dan
kesejahteraan sosial.
(2)Badan
tersebut pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 16.
(1)Pada
Perguruan Tinggi dapat diadakan lembaga-lembaga penelitian ilmiah.
(2)Tugas
lembaga penelitian ilmiah sebagai yang dimaksud pada ayat (1) adalah usaha
serta kegiatan ilmiah untuk memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
kebudayaan serta kehidupan kemasyarakatan, yang ditujukan untuk kepentingan
Negara dan Bangsa.
(3)Penelitian
dilakukan oleh para pengajar, mahasiswa dan tenaga ilmiah lainnya.
(4)Dana dan
hal-hal lain yang bersangkutan dengan usaha penelitian pada perguruan Tinggi
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V.
KEMAHASISWAAN
Pasal 17.
(1)Pelajar
pada Perguruan Tinggi disebut mahasiswa.
(2)Kedudukan
pendengar pada Perguruan Tinggi diatur dengan Peraturan Menteri.
(3)Yang
dapat menjadi mahasiswa ialah seseorang yang berijazah Sekolah Menengah tingkat
Atas, dan pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Menteri.
(4)Syarat-syarat
untuk menjadi mahasiswa dengan menempuh koloqium doktum diatur dengan Peraturan
Menteri.
(5)Syarat-syarat
pendaftaran dan penerimaan dan segala sesuatu yang timbul daripada ini diatur
dengan Peraturan Menteri.
(6)Kepindahan
mahasiswa dari satu Perguruan Tinggi ke-Perguruan Tinggi lain atau kepindahan
antar fakultas baik yang sejenis ataupun tidak, diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB VI.
PERGURUAN
TINGGI NEGERI
Pasal 18.
(1)Perguruan
Tinggi Negeri ialah perguruan tinggi yang dimiliki dan diselenggarakan oleh
Negara.
*2830
(2)Pendirian suatu Perguruan Tinggi Negeri dilakukan oleh Presiden Republik
Indonesia.
Pasal 19.
(1)Perguruan
Tinggi yang diselenggarakan oleh Departemen lain dari Departemen Perguruan
Tinggi dan Ilmu Pengetahuan bertujuan pula memberi pendidikan dan melakukan
penelitian dalam suatu bidang untuk mencukupi keperluan suatu jawatan tertentu.
(2)Penyelenggaraan
tehnis Perguruan Tinggi yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Departemen
yang bersangkutan, sedangkan mengenai segi-segi pendidikan umum serta
kelengkapan dalam tenaga-tenaga pengajar Perguruan Tinggi tersebut dipimpin dan
diawasi oleh Menteri.
(3)Pelaksanaan
penelitian sebagai dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor II/MPRS/1960 BAB II,
pasal 2 ayat (8) Lampiran A BAB I angka 32 dan 33.
Pasal 20.
(1)Pengangkatan,
pemindahan dan pemberhentian pengajar Perguruan Tinggi Negeri diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(2)Presiden
Universitas/Institut Negeri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik
Indonesia atas usul Menteri setelah mendengar pertimbangan Senat, dan memangku
jabatan selama masa empat tahun dan jika perlu dapat diangkat kembali.
(3)Ketua
Sekolah Tinggi Negeri dan Akademi Negeri dalam lingkungan suatu Departemen lain
dari Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu pengetahuan diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan atas usul
Menteri yang bersangkutan.
(4)Sekretaris
Senat Universitas/Institut Negeri diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas
usul Senat.
(5)Ketua dan
Sekretaris Fakultas diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas usul Senat
untuk masa jabatan sedikit-dikitnya dua tahun.
(6)Ketua,
Wakil Ketua dan para Anggauta Dewan Penyantun diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri.
Pasal 21.
(1)Hal-hal
lain mengenai Presiden Universitas/Institut, Ketua Sekolah Tinggi/Akademi dan
Senat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)Hal-hal
lain mengenai penyelenggaraan Perguruan Tinggi Negeri yang tidak diatur dengan
Peraturan Pemerintah, diatur dengan Peraturan Menteri.
(3) Hal-hal lain mengenai
penyelenggaraan tehnis Perguruan Tinggi yang tidak diatur dengan Peraturan
Pemerintah atau Peraturan Menteri dapat diatur sendiri oleh Perguruan Tinggi
yang bersangkutan.
BAB VII
PERGURUAN
TINGGI SWASTA.
Pasal 22.
Undang-undang
ini mengakui hak warganegara penduduk untuk mendirikan Perguruan Tinggi Swasta.
Pasal 23.
Untuk
menyelenggarakan Perguruan Tinggi Swasta pendiri berkewajiban
selambat-lambatnya dalam waktu enam bulan terhitung mulai Perguruan Tinggi
tersebut didirikan memenuhi syarat-syarat dibawah ini :
a.memberitahukan
tentang berdirinya Perguruan Tinggi Swasta itu kepada Menteri dengan
menyampaikan akte notaris pendirian badan hukum yang menyelenggarakannya,
anggaran dasar, harta kekayaan dan/atau sumber pendapatan yang diperuntukkan
penyelenggaraan Perguruan Tinggi tersebut, rencana pelajaran dan daftar tenaga
pengajar yang memuat riwayat pendidikan dan pekerjaan masing-masing pengajar
serta pelajaran yang diberikannya. b.dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa
Perguruan Tinggi Swasta tersebut berdasarkan Pancasila dan Manifesto Politik
Republik Indonesia.
Pasal 24.
(1)Untuk
memberikan bimbingan kepada dan pengawasan atas penyelenggaraan Perguruan
Tinggi Swasta, Pemerintah mengadakan Lembaga Perguruan Tinggi Swasta (disingkat
L.P.T.S.)
(2)Ketua,
Wakil Ketua dan para Anggauta Lembaga Perguruan Tinggi Swasta diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri, dan terdiri segolongan atas pejabat Pemerintah dan
segolongan atas pejabat dari lingkungan Perguruan Tinggi Swasta.
(3)Tugas dan
tata-tertib kerja Lembaga Perguruan Tinggi Swasta diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 25.
Menurut
tingkat kedudukannya, Perguruan Tinggi Swasta terbagi atas :
a.Perguruan
Tinggi Terdaftar b.Perguruan Tinggi Diakui c.Perguruan Tinggi Disamakan.
Pasal 26.
(1)Perguruan
Tinggi Swasta yang telah memenuhi syarat-syarat seperti termaksud dalam pasal
23 tergolong Perguruan Tinggi Terdaftar.
(2)
Mahasiswa dari Perguruan Tinggi Terdaftar diperbolehkan menempuh ujian negeri.
Pasal 27.
(1)Atas usul
Lembaga Perguruan Tinggi Swasta, Menteri dapat menunjuk :
a.Suatu
Perguruan Tinggi Terdaftar menjadi Perguruan Tinggi Diakui. b.Suatu Perguruan
Tinggi Diakui menjadi Perguruan Tinggi Disamakan.
(2)Syarat-syarat
untuk penunjukan seperti termaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(3)Perguruan
Tinggi Diakui berhak menyelenggarakan ujian sendiri dengan pedoman dan
pengawasan Menteri, sedang ijazahnya mempunyai nilai sama dengan ijazah
Perguruan Tinggi Negeri.
(4)Perguruan
Tinggi Disamakan berhak menyelenggarakan ujian dan promosi sendiri dengan
akibat yang sama dengan ujian dan promosi pada Perguruan Tinggi Negeri.
(5)Hal
penunjukan suatu Perguruan Tinggi Swasta ke-kedudukan semula diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 28.
Atas laporan
dan usul Lembaga Perguruan Tinggi Swasta, Menteri dapat menutup suatu Perguruan
tinggi Swasta yang menyalahi Dasar dan haluan Negara atau tidak mempunyai
kemampuan materiil/personil/spirituil untuk menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran tinggi sebagai yang dimaksud dalam Undang-undang ini.
Pasal 29.
(1)Kepada
Perguruan Tinggi Swasta diberikan subsidi dan/atau tunjangan lain.
(2)Pemberian
subsidi dan/atau tunjangan lain termaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 30.
Dengan
persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan dan setelah mendengar
pendapat/pertimbangan Lembaga Perguruan Tinggi Swasta, Menteri dapat
menggabungkan beberapa Perguruan Tinggi Swasta.
BAB VIII.
KETENTUAN
LAIN.
Pasal 31.
Yang
dimaksud dengan "Menteri" dalam Undang-undang ini, ialah Menteri
Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.
Pasal 32.
(1)
Peraturan Pemerintah dapat menetapkan ancaman pidana terhadap pelanggaran
kewajiban termaktub dalam pasal-pasal 23 dan 35.
(2)Menteri
dapat menutup Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 33.
(1)Peraturan
Pemerintah dapat menetapkan ancaman pidana terhadap pelanggaran perintah
penutupan sebagai yang dimaksud dalam pasal 28 dan pasal 32 ayat (2).
(2)Pimpinan
Perguruan Tinggi Swasta yang bersangkutan bertanggung-jawab atas pelanggaran
yang dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 34.
(1)Tindak
pidana yang dimaksud dalam pasal 10 ayat (4), pasal 11 ayat (7) dan pasal 32
ayat (1) adalah pelanggaran.
(2)Tindakan
pidana yang dimaksud dalam pasal 33 ayat (1) adalah kejahatan.
BAB IX.
KETENTUAN
PERALIHAN.
Pasal 35.
Perguruan
Tinggi Swasta yang sudah ada pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dalam
waktu satu tahun terhitung mulai saat tersebut, harus memenuhi/melengkapi
syarat-syarat sebagai yang dimaksud dalam pasal 23.
Pasal 36.
Semua
peraturan dan ketentuan tentang pendidikan dan pengajaran tinggi yang sudah ada
sebelum saat Undang-undang ini mulai berlaku dan kemudian tidak dibatalkan oleh
Undang-undang tersebut, terus berlaku selama dan sekedar diperlukan bagi
penyelenggaraan dan kelancaran Perguruan Tinggi dan tidak bertentangan dengan
peraturan-peraturan yang berlaku kemudian.
BAB X
PENUTUP
Pasal 37.
Undang-undang
ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya
setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta pada tanggal 4 Desember 1961. Presiden Republik Indonesia,
SOEKARNO.
Diundangkan
di Jakarta pada tanggal 4 Desember 1961, Sekretaris Negara,
MOHD.
ICHSAN.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1961
TENTANG
PERGURUAN TINGGI
ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1961
TENTANG
PERGURUAN TINGGI
UMUM
Semenjak
kita memproklamirkan kemerdekaan, maka khusus dilapangan pembangunan
pendidikan, terutama pendidikan tinggi, kita telah berusaha dengan sekuat
tenaga untuk sejauh mungkin mendasarkan usaha kita pada suatu dasar yang
bersifat nasional. Tetapi berhubung dengan berbagai kesulitan dan dengan
timbulnya berbagai pendapat mengenai pelaksanaan dan penertiban hal-hal tentang
Perguruan Tinggi, maka terpaksa bagian besar daripada usaha dilapangan Perguruan
Tinggi dilanjutkan atas dasar peraturan-peraturan dari jaman Hindia Belanda dan
peraturan-peraturan Pemerintah yang dibuat secara khusus untuk masing-masing
Universitas dan atau Fakultas.
Maka didalam masa pertumbuhan pendidikan tinggi selama 15 tahun terakhir ini, sudah berkali-kali diusahakan perancangan sebuah Undang-undang tentang Perguruan Tinggi, guna penertiban, keseragaman, kelancaran segala sesuatu dibidang pendidikan dan pengajaran tinggi khususnya dan untuk kepentingan perkembangan dilapangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan umumnya.
Sejak pertengahan tahun 1959 dimulai perkembangan baru dibidang politik yakni dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Kemudian Dekrit tersebut disusul dengan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai garis-garis besar haluan Negara, yang dikuatkan oleh Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor I/MPRS/1960 dan Nomor II/MPRS/1960. Yang tersebut belakangan itu mengenai garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana 1961-1969. Hal yang diuraikan diatas mendorong Pemerintah untuk mengajukan sebuah rancangan undang-undang tentang, ketentuan- ketentuan pokok mengenai Perguruan Tinggi yang maksudnya menjadi landasan bagi pembentukan kader-kader ahli yang akan menjadi pelaksana utama pembangunan semesta berencana menuju kemasyarakatan sosialis Indonesia yang adil dan makmur. Perlu diperhatikan bahwa menurut sistematik perundang- undangan Undang-undang tentang Perguruan Tinggi adalah kelanjutan dari Undang-undang yang dimaksudkan sebagai peraturan dasar bagi perguruan yang diselenggarakan di Negara kita ini. Berhubung dengan itu maka dalam beberapa hal dapat ditunjuk kepada Undang-undang (Republik Indonesia dulu) Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar pendidikan dan pengajaran disekolah, misalnya tentang sifat nasional dan sifat demokratis dari perguruan pada umumnya dan Perguruan Tinggi pada khususnya.
Akhirnya telah menjadi kenyataan bahwa sejak pertengahan tahun 1959 telah jelas ideologi Negara Republik Indonesia, yaitu berdasarkan Pancasila dan berpegangan pada Manifesto Politik menuju kemasyarakatan sosialis Indonesia yang adil dan makmur.
Berhubung dengan itu tidak boleh dilupakan bahwa Perguruan Tinggi kita adalah alat revolusi yang mempunyai tugas pula: membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila dan bertanggung jawab akan terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur (lihat pasal 2 ayat 1). Selanjutnya adalah hal yang wajar jika pada Perguruan Tinggi diberikan pelajaran dalam mata pelajaran Pancasila dan Manifesto Politik Republik Indonesia (lihat pasal 9 ayat (2). Sewajarnya pula jika syarat untuk menjadi pengajar pada Perguruan Tinggi ialah "berjiwa Pancasila dan Manifesto Politik Republik Indonesia" disamping syarat keahlian, kecakapan dan budi tinggi (lihat pasal 11 ayat (5). Akhirnya dapat diharapkan bahwa Perguruan Tinggi, negeri maupun swasta, "berdasarkan Pancasila dan Manifesto Politik Republik Indonesia" (lihat pasal 23 sub (b), pun tidak dapat dibenarkan penyelewenangan dari dasar dan haluan Negara (lihat pasal 28).
Yang dimaksudkan dalam Undang-undang ini dengan perkataan "berjiwa Pancasila" dan "berdasarkan Pancasila" ialah bukan saja bahwa kegiatan-kegiatan Perguruan Tinggi dan pengajarannya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Manifesto Politik Republik Indonesia, akan tetapi lebih dari itu dan lebih dari hal penyesuaian saja dengan dasar dan haluan Negara Republik Indonesia melainkan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan pengajaran pada Perguruan Tinggi yang bersangkutan itu hendaklah ikut memperjuangkan ideologi Negara Republik Indonesia.
Maka didalam masa pertumbuhan pendidikan tinggi selama 15 tahun terakhir ini, sudah berkali-kali diusahakan perancangan sebuah Undang-undang tentang Perguruan Tinggi, guna penertiban, keseragaman, kelancaran segala sesuatu dibidang pendidikan dan pengajaran tinggi khususnya dan untuk kepentingan perkembangan dilapangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan umumnya.
Sejak pertengahan tahun 1959 dimulai perkembangan baru dibidang politik yakni dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Kemudian Dekrit tersebut disusul dengan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai garis-garis besar haluan Negara, yang dikuatkan oleh Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor I/MPRS/1960 dan Nomor II/MPRS/1960. Yang tersebut belakangan itu mengenai garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana 1961-1969. Hal yang diuraikan diatas mendorong Pemerintah untuk mengajukan sebuah rancangan undang-undang tentang, ketentuan- ketentuan pokok mengenai Perguruan Tinggi yang maksudnya menjadi landasan bagi pembentukan kader-kader ahli yang akan menjadi pelaksana utama pembangunan semesta berencana menuju kemasyarakatan sosialis Indonesia yang adil dan makmur. Perlu diperhatikan bahwa menurut sistematik perundang- undangan Undang-undang tentang Perguruan Tinggi adalah kelanjutan dari Undang-undang yang dimaksudkan sebagai peraturan dasar bagi perguruan yang diselenggarakan di Negara kita ini. Berhubung dengan itu maka dalam beberapa hal dapat ditunjuk kepada Undang-undang (Republik Indonesia dulu) Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar pendidikan dan pengajaran disekolah, misalnya tentang sifat nasional dan sifat demokratis dari perguruan pada umumnya dan Perguruan Tinggi pada khususnya.
Akhirnya telah menjadi kenyataan bahwa sejak pertengahan tahun 1959 telah jelas ideologi Negara Republik Indonesia, yaitu berdasarkan Pancasila dan berpegangan pada Manifesto Politik menuju kemasyarakatan sosialis Indonesia yang adil dan makmur.
Berhubung dengan itu tidak boleh dilupakan bahwa Perguruan Tinggi kita adalah alat revolusi yang mempunyai tugas pula: membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila dan bertanggung jawab akan terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur (lihat pasal 2 ayat 1). Selanjutnya adalah hal yang wajar jika pada Perguruan Tinggi diberikan pelajaran dalam mata pelajaran Pancasila dan Manifesto Politik Republik Indonesia (lihat pasal 9 ayat (2). Sewajarnya pula jika syarat untuk menjadi pengajar pada Perguruan Tinggi ialah "berjiwa Pancasila dan Manifesto Politik Republik Indonesia" disamping syarat keahlian, kecakapan dan budi tinggi (lihat pasal 11 ayat (5). Akhirnya dapat diharapkan bahwa Perguruan Tinggi, negeri maupun swasta, "berdasarkan Pancasila dan Manifesto Politik Republik Indonesia" (lihat pasal 23 sub (b), pun tidak dapat dibenarkan penyelewenangan dari dasar dan haluan Negara (lihat pasal 28).
Yang dimaksudkan dalam Undang-undang ini dengan perkataan "berjiwa Pancasila" dan "berdasarkan Pancasila" ialah bukan saja bahwa kegiatan-kegiatan Perguruan Tinggi dan pengajarannya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Manifesto Politik Republik Indonesia, akan tetapi lebih dari itu dan lebih dari hal penyesuaian saja dengan dasar dan haluan Negara Republik Indonesia melainkan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan pengajaran pada Perguruan Tinggi yang bersangkutan itu hendaklah ikut memperjuangkan ideologi Negara Republik Indonesia.
Comments
Post a Comment