BAB I
PENDAHULUAN
A.
PERISTILAHAN
DAN BATASAN
1.
Ilmu Kenegaraan
Pengertian istilah staatwetwnschap bukanlah ilmu kenegaraan dari sudut hukum saja,
tetapi juga dari sudut ekonomi yang dahulunya disebut staatshuishouding atau
ekonomi, sebagai akibat dari pengaruh aliran Merkantilisme.
Merkantilisme adalah politik ekonomi di Eropa
Barat yang mempersamakan uang dengan kekayaan, berusaha untuk memperoleh emas,
bahan mata uang dengan meningkatkan hasil produksi pabrik dan ekspor, pembeaan
impor dan perasaan kolonial oleh negara terhadap jajahannya.
2. Ilmu Negara
Timbulnya
istilah Ilmu Negara atau Staatleer sebagai
istilah teknik, sebagai akibat penyelidikan seorang sarjana Jerman bernama Georg Jellinek. Ia adalah “bapak ilmu negara”. Georg Jellinek memandang ilmu
pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan tidak secara insidental, tetapi secara
keseluruhan, dan berhasil meletakkan suatu lapangan penyelidikannya dalam suatu
sistematik.
3.
Ilmu Politik
Secara etimologis berasal dari perkataan
Yunani-purba, yaitu polis. Polis adalah kota yang dianggap negara yang terdapat
dalam kebudayaan Yunani-purba. Kemudian dari istilah polis ini diturunkan dan
dihasilkan kata-kata seperti: politeia (segala hal-ikhwal yang menyangkut polis
atau negara), polites (warga-kota atau warganegara), politikos (ahli negara),
politieke techne (kemahiran politik), politieke episteme (ilmu politik) dan
Ahli yang telah memberikan pengaruh kepada
lahirnya ilmu negara di tanah Belanda yaitu Jan Rudolf Thorbecke.
Sehubungan dengan hal tersebut, jika kita
tinjau dan perhatikan, maka pada pokoknya batasan bagi ilmu politik dapat
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
I. Batasan Institusional
Mempelajari lembaga-lembaga politik, namun
karena negara merupakan lembaga-lembaga pra-exellence, maka negaralah yang
menjadi pusat perhatian. Karena itu pembatasan dimulai dengan asal mula negara,
hakikat negara, sejarah serta tujuan dan bentuk-bentuk negara yang akhirnya
sampai kepada penyusunan deduksi tentang pertumbuhan dan perkembangan negara.
Atas batasan tersebut di atas timbullah
kritik dari Thomas I Cook dalam bukunya The Methods of Political Science. Pada
pokoknya kritik tersebut didasarkan atas tiga hal, yaitu:
1. bahwa negara itu terbatas dalam waktu,
2. bahwa negara itu bersifat partikularistis,
dan
3. bahwa ilmu politik yang memusatkan
penyelidikan pada negara tidak dapat menghasilkan analisis-snslisis yang sesuai
dengan kenyataan.
II.
Batasan secara fungsional (pragmatis atau teologis)
Sesuai dengan fungsi dan aktivitasnya,
maka terjadilah pergeseran titik-berat penyelidikan ilmu politik, yaitu dari
statika ke dinamika politik. Akibatnya harus pula diperhatikan faktor-faktor
nonpolitik yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi dan aktivitas lembaga-lembaga
politik seperti: faktor demografis, psikologis, kultural, dan ekonomis.
III.
Batasan secara hakikat politik (power interpretation of politik)
Yang menjadi hakikat politik ialah
kekuasaan (macht atau power), maka karena itu politik merupakan ”perjuangan
untuk memperoleh kekuasaan” atau ”teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan” atau
”masalah pelaksaan dan kontrol kekuasaan” atau ”pembentukan dan penggunaan
kekuasaan”.
Selanjutnya jika diperhatikan batasan tersebut
di atas dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni:
1. Postulational approach (pendekatan
postulasional)
Golongan ini diwakili oleh George Catlin,
yang menggunakan istilah control untuk kekuasaan, dan ilmu politik dirumuskan
sebagai a study of the act of control, or is the act of human or social
control.
2. Psychological approach (pendekatan
psikologis)
Golongan ini diwakili oleh Harold D.
Lasswell dan F. Schuman, yang menganalisis latar belakang psikologis dari
kehausan akan kekuasaan, jadi motif-motif dan hasrat-hasrat manusia yang
berusaha memperoleh dan menggunakan kekuasaan.
3. Sosiological approach (pendekatan
sosiologis)
Golongan ini diwakili oleh Charles Merriam
dan Lord Russel, yang menganalisis kekuasaan sebagai gejala sosial yang
terdapat dalam masyarakat, dipergunakan sebagai alat untuk menjelaskan keadaan
masyarakat di mana kekuasaan itu berlaku.
B.
LAPANGAN PENYELIDIKAN
Mengenai scope (ruang lingkup) ilmu
politik dapat dikatakan terdapatnya pelbagai usaha untuk melakukan
penyelidikannya seperti dari proyek Unesco, Apsa (American Political science
Asociation) dan laporan W.A. Robson mengenai pertumbuhan dan pelajaran ilmu
politik di pelbagai negara.
Proyek Unesco
Lapangan ilmu politik yang dihasilkan oleh
konferensi Unesco pada bulan September 1948 ada 4 yaitu:
Political science terdiri dari:
I.
Political
theory,
II.
Government,
III.
Parties,
Groups and Public Opinion
IV.
International
Relation
Bagian-bagian dari keempat lapangan
Political Science itu terinci sebagai berikut:
I.
Political
theory
1. Political theory (teori politik (teori
politik)
2. History of political ideas (sejarah
cita-cita politik)
II. Political Institutions (Lembaga-lembaga
politik)
1. The constitution (konstitusi)
2. National government and local government
(pemerintah nasional dan lokal)
3. Public administration (administrasi
negara)
4. Economic and social functions of
government (fungsi-fungsi ekonomi dan sosial pemerintah)
5. Comparative political institutions
(perbandingan lembaga-lembaga politik)
III.
Parties,
Groups and Public Opinion (partai-partai, kelompok, dan pendapat umum)
1. Political parties (partai-partai politik)
2. Group and associations (kelompok-kelompok
dan perkumpulan-perkumpulan)
3. Participation of the citizen in the
government and the administration (turut sertanya warganegara dalam pemerintahan
dan administrasi)
4. Public opinion (pendapat umum)
IV.
International
relations (hubungan internasional)
1. International politics (politik
internasional)
2. International organization and
administration (organisasi dan administrasiinternasional)
3. International law (hukum international)
APSA (American Political Science Association)
Marschall E. Dimock di dalam sebuah buku
yang berjudul Goals for Political Science memuat hasil-hasil penyelidikan
Panitia pada tahun 1950 yang berada di bawah pimpinannya, beranggotakan: H.D.
Dorr, G.E. Wahley, E. Allen Herlms, R.G Weinstraub dan Howard White, terdapat
delapan perincian mengenai ruang lingkup dan penyelidikan ilmu politik ialah:
1. Teori dan falsafah politik.
2. Partai-partai politik, pendapat umum, dan
pressure-groups.
3. Badan legislatif dan proses pembentukan
Undang-undang.
4. Hukum konstitusional dan hukum
administrasi.
5. Administrasi umum.
6. Pemerintah dan perniagaan.
7. Hukum internasional.
8. Sistem pemerintahan Amerika Serikat dan
perbandingan pemerintah.
W.A. Robson
Ketika memberikan laporannya kepada Unesco
ia menyatakan bahwa Ilmu Politik mencakup:
1. Teori politik.
2. Pemerintah.
3. Partai, kelompok, dan pendapat umum.
4. Hubungan-hubungan internasional.
BAB II
NILAI, FUNGSI, DAN STATUS
A.
NILAI ILMU NEGARA
Adapun yang menjadi nilai untuk ilmu negara,
ialah:
1.
Totalitas
Yaitu, objek penyelidikan dapat diselidiki
secara menyeluruh atau als Ganzheit yang tidak tertuju semata-mata pada satu
negara saja.
2.
Umum
Yaitu nilai yang didapat dari gambaran
secara keseluruhan yang mengandung genusbegrip, bukannya species begrip.
3.
Abstrak
Yaitu nilai yang tidak nyata dan diperoleh
sebagai akibat dari nilai-nilai totalitas dan umum.
4.
Teoretis
Yaitu perumusan dan konkretisasi cita-cita
sebagai lawan nilai praktis
5.
Bebas Nilai
Yaitu netral atau value free yang tidak
dipengaruhi oleh waktu, tempat, dan keadaan selaku faktor-faktor yang variabel
sifatnya.
B.
FUNGSI ILMU NEGARA
a. Fungsi berarti bergantung kepada
(pengertian pertama dari naturwissenschaft).
b. Fungsi berarti tugas, ambtwerking in het
verbandmet het geheel (pengertian kedua dari naturwissenschaft akan tetapi arti
pertama dari Geisteswissenschaft).
c. Fungsi berarti hubungan timbal balik
antara bagian dan keseluruhan (pengertian ketiga dari Naturwissenschaft, akan
tetapi arti kedua dari Geisteswissenschaft)
d. Fungsi berarti kerja atau werking
(pengertian keempat dari Naturwissenschaft, akan arti ketiga dari
Geisteswissenschaft)
Pengertian pengantar itu sendiri
mengandung tiga arti, yaitu:
a. Keseluruhan ilmu pengetahuan,
b. Gambaran keseluruhan secara sistematik,
c. Ilmu pengetahuan mengenai dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan pendahuluan (vorfragen, prealabele vragen) atau dinamakan
juga wissenschaftlehre).
C.
STATUS ILMU NEGARA PADA PROGRAM PENDIDIKAN
SARJANA HUKUM
1.
Dalam Kurikulum Inti
Pengembangan kurikulum inti terjadi karena
adanya perencanaan yang dikembangkan oleh jurusan dan laboratorium di Fakultas
Hukum, kemudian dipertimbangkan oleh senat fakultas dan disampaikan kepada
dekan untuk selanjutnya diusulkan kepada rektor untuk mendapatkan keputusan
tentang pengembangan kurikulum inti.
2.
Dalam Kurikulum Nasional
Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwasanya
dalam Program Sarjana Ilmu Hukum hanya terdapat 1(satu) Program Studi, yaitu
program studi ilmu hukum, dan selanjutnya dalam ayat (2) menegaskan terdapat
8(delapan) bagian yang merupakan unsur pelaksana akademik fakultas yang
bertugas dalam pengelolaan sumber daya manusia bagi pengemban ilmu hukum.
BAB III
HUBUNGAN ILMU NEGARA DENGAN CABANG-CABANG
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL TERTENTU DAN YANG LAINNYA
A.
HUBUNGAN SECARA UMUM
Ilmu negara sebagai salah satu cabang ilmu
pengetahuan sosial umumnya harus bekerja sama dengan cabang-cabang ilmu
pengetahuan sosial lainnya karena dapat memberi dan menerima pengaruhnya dan
bantuan jasanya satu sama lain yang saling memerlukan sehingga dapat saling
mengisi dan lengkap melengkapi, sehingga terwujud hubungan komplementer.
B.
HUBUNGAN SECARA KHUSUS
1.
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Dalam hubungan ini jelaslah ada sifat-sifat
komplementer, karena itu ilmu negara merupakan salah satu hardcore (teras inti)
daripada ilmu politik.
2.
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Hukum
Tata Negara dalam Arti Luas
Ilmu negara yang merupakan ilmu pengetahuan yang
menyelidiki pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok negara dapat
memberikan dasar-dasar teoretis yang bersifat umum untuk hukum tata negara.
Oleh karena itu agar dapat mengerti dengan sebaik-baiknya dan sedalam-dalamnya
sistem hukum ketatanegaraan sesuatu negara tertentu, sudah sewajarnyalah kita
terlebih dahulu kita harus memiliki pengetahuan segala hal ikhwalnya sevara
umum tentang negara yang didapat dalam ilmu negara.
3.
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu perbandingan Hukum Tata
Negara
Ilmu
perbandingan hukum tata negara bertugas menganalisis secara teratur, menetapkan
secara sistematis, sifat-sifat apakah yang melekat padanya, sebab-sebab apa
yang menimbulkannya, mengubah dan menghilangkan atau menyebabkan yang satu
memasuki yang lain terhadap bentuk negara itu.
BAB IV
PENGERTIAN POKOK DAN SENDI POKOK
Manakala dipelajari dan dianalogkan dengan
bahan hukum ternyata dapat diperoleh melalui bahan idiil dan riil. Bahan idiil
mengandung dua unsur, yaitu unsur rasio dan unsur susila.
Unsur rasio adalah segala sesuatu yang
didasarkan pada pikiran. Sedangkan unsur susila yaitu segala sesuatu yang
didasarkan pada moral dan bertalian erat dengan etika, kesopanan, serta patut
berdasarkan norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat yang baik.
Bahan riil memuat tiga unsur, ialah
manusia, alam (naturalia) dan tradisi. Sendi berkaitan erat dengan bahan riil
dan berubah-ubah (variabel) menurut waktu, tempat dan keadaan. Oleh karena itu
sendi (pokok) bersifat variabel (contoh: itikad baik (te goeder trouw), sebagai
tuan rumah yang baik (als een goed huisvader) dan demokrasi-liberal). Sedangkan
pengertian (pokok) sifatnya konstan (contoh: subjek hukum, objek hukum, hukum
objektif, hukum subjektif, republik dan demokrasi).
BAB V
METODE PENYELIDIKAN
A.
ILMU DAN METODE
Perumusan ringkas dari ilmu, adalah suatu
pengetahuan yang teratur dengan syarat. Ia harus memperhatikan hukum
sebab-akibat dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun
kedudukannya yang tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
Metode merupakan cara penyelidikan untuk
memperoleh pengertian ilmiah terhadap sesuatu objek sehingga dapat dicapai
kebenaran objektif.
Pemberian corak objektif kepada kehidupan yang terbagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu:
a.
Organisation
der Gesellschaft
Yaitu masyarakat disusun secara
formasi-formasi kelompok atau groepsformatie, seperti halnya keluarga, gereja,
dan lain sebagainya.
b.
Kultursysteme
Yaitu masyarakat tempat pergaulan hidup
memiliki rangka dan di dalam rangka itu terdapat: agama, moral, ilmu
pengetahuan, kesenian dan lain sebagainya yang secara bersama-sama merupakan
suatu tata (systimatisch geheel) dalam kebudayaan; dan
c.
Recht:
Yaitu hukum yang dalam hal ini dapat
dilihat hakikat hukum.
B.
MACAM-MACAM METODE PENYELIDIKAN
Dalam proses penyelidikannya,
metode-metode penyelidikan yang sering dipakai oleh ilmu negara dan para ahli
di lapangan kenegaraan antara lain:
1.
Metode
Deduksi :
Yaitu suatu metode penyelidikan atas dasar-dasar yang
bersifat umum yang dipergunakan untuk menerangkan peristiwa-peristiwa khusus
(tertentu) atau penjelasan-penjelasan teoretis yang bersifat umum terhadap
fakta-fakta yang bersifat konkret.
2.
Metode
Induksi :
Yaitu suatu metode yang merupakan
kesimpulan-kesimpulan umum yang diperoleh berdasarkan proses pemikiran setelah
mempelajari peristiwa-peristiwa khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret.
3.
Metode
Dealektis (dialectische methode):
Yaitu suatu metode ”tanya jawab” atau
”dialog”, proses penyelidikan dilakukan dengan cara tanya jawab untuk mencoba
mencari pengertian-pengertian tertentu.
4.
Metode
Filosofi
Yaitu suatu metode yang dalam proses
penyelidikannya meninjau serta membahas objek penyelidikannya serta
abstrak-idiil. Ide abstrak itu sifatnya khayal dan lepas atau melampaui
kenyataan (transcendental).
5.
Metode Perbandingan (methode van
vergelijking)
Yaitu suatu metode dengan mengadakan
perbandingan di antara kedua objek penyelidikan atau lebih, untuk menambah dan
memperdalam pengetahuan tentang objek-objek yang diselidiki.
6.
Metode Sejarah (methode van historische
beschouwing)
Yaitu suatu metode yang didasarkan
terhadap analisis dari kenyataan-kenyataan sejarah, yaitu ditinjau pertumbuhan
dan perkembangannya, sebab akibatnya sebagaimana terwujud dalam sejarah dan
penyelidikan disusun asas-asas umum yang dapat dipergunakan.
Jikalau negara diselidiki secara metode
sejarah, maka penyelidikannya ditujukan kepada asal mula negara atau genetika
negara pertumbuhan dan perkembangannya dan dihabisi dengan pembahasan keadaan
negara saat ini.sebagaimana telah dijelaskan terdahulu,bahwa Historische
ontwikkeling der hedendaagse staatsintellingen als inleidend vak voor het
positief staatsrecht mendapatkan pengaruh dari paham Historische School van het
recht yang dipimpin oleh Friedrich Carl
Savigny. Maka paham tersebut melukis perkembangan hukum dengan 3(tiga)
macam faktor:
a.
gesteldheid
(keadaan);
b.
verloop
(kelangsungan); dan
c.
regelmaat
(keajekan).
7.
Metode Sistematik (methode van
systematisering)
Yaitu suatu metode yang berdasarkan secara
menghimpun bahan-bahan yang sudah tersedia, terhadap bahan-bahan itu dilakukan
pelukisan, penguraian dan penilaian kemudian dilakukan klasifikasi atau
rubricering ke dalam golongan-golongan di dalam suatu sistematik.
Oleh karena itu penyelidik atas suatu
negara memungkinkan menyelidiki negara sebagai objek sebagai berikut:
a.
Sebagai
Ganzeit (keseluruhan):
Yaitu negara selaku objek penyelidikan
dilihat dari kuar. Dan jika diperbandingkan satu dengan yang lainnya, akan
diperoleh hasil Allgemeine Soziale Staatslehre, maka dengan demikian Allgemeine
Soziale Ganzheit di seluruh dunia.
b.
Dalam
struktur, organisasi atau ordeningnya:
Yaitu terhadap bangunan-bangunan atau
lembaga-lembaga negara (staatsinstellingen), seperti: Kepala Negara, Kabinet,
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan lain sebagainya.
8.
Metode Hukum (Juridische atau
Legalistische Methode) :
Yaitu suatu metode yang di dalam proses
penyelidikan meninjau serta membahas objek penyelidikan dengan menitikberatkan
kepada segi-segi yuridis, sehingga faktor-faktor yang bersifat nonyuridis
dikesampingkan. Dalam hal ini negara selaku objek penyelidikan dianggap dan
dititikberatkan kepada kepribadian hukumnya, yaitu selaku badan hukum
(rechtspersoon) di lapangan hukum publik atau selaku susunan tata hukum.
9.
Metode Sinkretis (syscretisme atau
Syncretismus)
Yaitu suatu metode yang di dalam proses
penyelidikannya meninjau serta membahas objek penyelidikannya dengan cara
menggabungkan faktor-faktor baik yang bersifat yuridis maupun nonyuridis.
10.
Metode Fungsional (Funktionele Methode)
Yaitu suatu metode yang dalam proses
penyelidikanya meninjau serta membahas objek penyelidikannya dengan menggandengkan
dengan baik gejala-gejala dalam dunia ini masing-masing tidak terlepas satu
sama lainnya, melainkan terdapat hubungan yang timbal balik atau
interdependent. Sehingga dengan demikian negara selaku objek dapat mempengaruhi
masyarakat, juga sebaliknya masyarakat itu dapat mempengaruhi negara.
BAB VI
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ILMU NEGARA
DENGAN BEBERAPA PEMIKIRNYA
A.
MASA YUNANI PURBA
1.
Socrates (470 – 399 S.M.)
Menurut pendapatnya,
di setiap hati kecil manusia terdapat rasa hukum dan keadilan yang sejati,
bergemalah detak-detak kesucian sebab setiap itu merupakan sebagian daripada
Nur Tuhan Yang Maha Pemurah, adil dan penuh kasih sayang; meskipun detak-detak
kesucian itu dapat terselubung dan ditutupi oleh kabut tebal kemilikan dan
ketamakan, kejahatan, dan aneka ragam kedholiman, namun tetap ada serta tidak
dapat dihilangkan laksana cahaya abadi.
2.
Plato (429-347 S.M.)
Plato
meneruskan ajaran Socrates.
Dimulainya dengan ajaran tunggalnya Politeia
dengan mana digambarkannya ideale
staat atau negara sempurna, oleh karena itu filsafatnya disebut ‘‘ideenler van Plato‘‘ atau ajaran cita
Plato yang terkenal serta tersohor sampai dewasa ini, atau juga disebut ‘‘idealisme‘‘.
Menurut ajarannya itu dikenal adanya 2 (dua) dunia
yaitu :
1.
Ideenwereld (dunia cita) yang bersifat immateriil:
Yaitu
idea atau “kenyataan sejati“ yang bersemayam di alam tersendiri, ialah di alam
cita yang berada di luar “dunia palsu“.
2.
Natuurwereld (dunia alam) yang bersifat material:
Yaitu
dunia fana yang bersifat palsu.
Asal
mula negara menurut Plato karena
banyaknya kebutuhan hidup serta
keinginan manusia. Manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan serta keinginannya
itu secara sendiri-sendiri. Sesuai dengan kecakapan masing-masing, mereka
mendapat pembagian tugas dengan dasar bekerja sama. Maka manusia dapat memenuhi
kebutuhan dan keinginannya itu.
Mengenai
negara sempurna dan baik itu yang bersifat ideal-etis diperlukan beberapa
syarat. Untuk itu Socrates telah mengemukakan 2 (dua) syarat, sedangkan
oleh Plato syarat tersebut ditambah
lagi, sehingga keseluruhannya menjadi 3 (tiga) syarat, yaitu :
1.
Negara harus dijalankan oleh pegawai
yang terdidik khusus.
2.
Pemerintah harus ditujukan
segala-galanya demi kepentingan umum; dan
3.
Harus dicapai kesempurnaan susila dari
rakyat.
Sehubungan
dengan asal mula negara, maka dapatlah ditarik garis paralel antara sifat
negara dan sifat manusia, yang mengakibatkan adanya penetapan 3 (tiga) macam
sifat yaitu: kebenaran, keberanian, dan kebutuhan, maka dalam hal ini
mengakibatkan pula terciptanya 3 (tiga) kelas didalam negara ideal-etis itu
ialah :
1.
The
rulers atau para penguasa yaitu golongan pegawai yang
terdidik khusus yang merupakan pemimpin-pemimpin Negara yang berusaha tercapai
dan terselenggaranya kesempurnaan, good dan good life serta kepentingan umum.
Para penguasa itu ialah Philosopher King.
2.
The
guardians atau para pengawal negara; yaitu mereka yang
menyelenggarakan keamanan, ketertiban, dan keselamatan negara; dan
3.
The
artisans atau para pekerja; yang mereka yang menjamin
makanan bagi kedua golongan tersebut di atas.
Selanjutnya
di dalam bagian kedelapan dari politeia diuraikan mengenai bentuk-bentuk negara
yang berjenis 5 (lima) macam yang sesuai dengan sifat-sifat tertentu dari jiwa
manusia :
1.
Aristokrasi (aristocratie atau aristocracy)
2.
Oligarkhi (Oligarchie atau oligarchy)
3.
Timokrasi (timocratie atau timocraty)
4.
Demokrasi (democratie atau democracy)
5.
Tirani (tyranie atau tyranny)
Bentuk negara
yang diketengahkan dan dibagi oleh Plato, yaitu:
1.
The
ideal form atau bentuk cita:
Yaitu bentuk Negara cita yang
berusaha mencapai dan menyelenggarakan kesempurnaan, good dan good life serta
kepentingan umum, berdasarkan keadilan. Hal itu dapat dirinci menjadi 3 (tiga) bentuk negara
cita ialah:
a.
Monarki
(monarchie atau monarchy):
b.
Aristokrasi
(aristocratie atau aristocracy):
c.
Demokrasi
(demokratie atau democracy)
2.
The
coruption form (the
degenerate form) atau bentuk pemerosotan:
Yaitu
bentuk negara yang merupakan kebalikan dari bentuk negara cita. Jadi merupakan
bentuk negara cita yang merosot (ontaarding).
Pemerosotan ini disebabkan pemerintah tiada melakukan keadilan dan kepentingan
umum, selalu ada kesewenang-wenangan tindakan.
Hal
ini pun dapat dirinci menjadi 3 (tiga) bentuk negara pemerosotan, ialah :
a.
TIRANI (tyranie atau tyrany) :
b.
OLIGARKHI (oligarchie atau oligarchy):
c.
MOBOKRASI (mobocratie atau mobocracy):
3.
Aristoteles (384-322 S.M.)
Karangannya
terdiri dari dua bagian :
1.
Sebagai
hasil penyelidikan pertumbuhan polis sebelum tahun 403 S.M.
2.
Sebagai
susunan polis pada semasa Aristoteles.
Mengenai negara ia sependapat dengan Plato, yaitu negara bertujuan untuk:
1.
Menyelenggarakan
kepentingan warganegaranya; dan
2.
Berusaha
supaya warganegara hidup baik dan bahagia (good
life) didasarkan atas keadilan, keadilan itu memerintah dan harus menjelma
di dalam negara.
Sehubungan
dengan hal itu cara terjadinya negara menurut Aristoteles ialah bahwa manusia itu berbeda dengan hewan, sebab
hewan dapat hidup sendiri, sedangkan manusia sudah dikodratkan untuk hidup
berhubungan satu sama lain.
Mengenai
tujuan negara oleh Aristoteles
dijelaskan, bahwa berhubung dengan pahamnya bersifat universal itu, maka lebih
diutamakan adalah negara. Oleh karena itu pemerintah sebaik-baiknya ditujukan
kepada kepentingan umum, berlandaskan keadilan yang merupakan keseimbangan
kepentingan di atas daun neraca Themis
(Dewi keadilan di dalam mitologi Yunani).
Terdapat
3 (tiga) macam bentuk negara yang termasuk ke dalam bentuk cita, dan untuk
membedakannya satu sama lain dipakailah “kriterium“ atau “ukuran“ kuantitatif,
yaitu mengenai jumlah orang yang memerintah.
1.
One
man rule pemerintahan satu orang; monarchi.
2.
A
few man rule atau pemerintahan beberapa/sedikit
orang: aristokrasi; dan
3.
The
many men or the people rule atau pemerintahan orang
banyak dengan tujuan untuk kepentingan umum: politeia, polity atau republic.
Pun terdapat 3 (tiga) macam bentuk
negara yang termasuk ke dalam bentuk pemerosotan, dan untuk membedakannya satu
sama lain dipakailah “kriterium” atau “ukuran” kualitatif, yaitu berhubungan
dengan tujuan yang hendak dicapai:
1.
Bilamana tujuannya itu didasarkan kepada
kepentingan satu orang secara diri sendiri untuk kepentingan pribadi: tirani
atau despotie.
2.
Bilamana tujuannya itu didasarkan kepada
kepentingan segolongan orang atau beberapa orang: oligarkhi atau clique form
ataupun Plutocrasi (yaitu berasal
dari istilah Plutos artinya kekayaan dan Cratia
atau Cratein artinya memerintah. Jadi
suatu pemerintahan di mana pimpinan negara berada di tangan segolongan orang
kaya dan kekayaanlah yang dihormati).
3.
Bilamana tujuannya itu didasarkan tidak
untuk kepentingan rakyat seluruhnya akan tetapi pakai nama rakyat: demokrasi.
Oleh
karena itu disimpulkan bahwa dalam kenyataannya bentuk negara itu menjadi :
a.
Bentuk
negara campuran (mixed
form)
b.
Bentuk
negara pemerosotan (corruption
or degenerate form).
4.
Epicurus (342-271 S.M.)
Menurutnya masyarakat itu ada karena
adanya kepentingan manusia sehingga yang berkepentingan bukanlah masyarakatnya
sebagai suatu kesatuan, tetapi manusia-manusia itu yang merupakan bagian dari
masyarakat itu
Atas dasar pandangan ini Epicurus
berpendapat bahwa terjadinya negara itu disebabkan terdorong oleh karena adanya
kepentingan sebagai unsur-unsur perseorangan. Dan tujuan dari negara hanyalah
menjaga tata tertib dan keamanan dalam masyarakat dengan tidak memperdulikan
macam apa dan bagaimana negara itu.
Sedangkan tujuan tujuan masyarakat adalah
kepentingan perorangan yang berarti keenakan diri pribadi tetapi bukan dalam
arti materialistis atau kebendaan melainkan keenakan jiwa atau rohani.
5.
Zeno (300 S.M.)
Hasil dari aliran stoazijnen, maka timbul
dalam kebudayaan Yunani apa yang disebut ”hukum alam” atau ”hukum asasi”
(natuurrecht).
Maka oleh ajaran hukum alam dibedakan
adanya 2 (dua) alam yaitu:
1.
Kodrat manusia (natuur van de mens) dan
2.
Kodrat benda (natuur van de zaak).
Yang dimaksudkan dengan ”kodrat manusia”
yaitu dilihat kepada sifat-sifat manusia, ialah kodrat yang terletak dalam budi
manusia yang merupakan zat hakikat sedalam-dalamnya dalam manusia dan budi itu
bersifat tradisional.
6.
Polybios (204-122 S.M.)
Mengenai negara Polybios
melanjutkan pahamnya Aristoteles. Diuraikan dalam bukunya bahwa proses
perkembangan, pertumbuhan dan kemerosotan bentuk-bentuk negara secara
psikologis bertalian dengan sifat-sifat manusia menurut ajaran Aristoteles,
yaitu bahwa tiadanya bentuk negara yang abadi, hal itu disebabkan sudah
terkandung benih-benih pengrusakan, seperti pemberontakan, revolusi, dan
sebagainya.
Benih-benih itu disebabkan karena
sifat-sifat manusia yaitu:
a. Keinginan dan persamaan:
Yaitu terdapatnya hasrat
persamaan terhadap mereka yang merasa dirinya sama dengan orang-orang yang
lebih beruntung atau lebih kaya dari mereka, kecuali hal itu terdapat hasrat
sama dengan orang-orang yang memegang pimpinan Negara; dan
b. Keinginan akan perbedaan:
Yaitu terdapatnya hasrat
perbedaan terhadap mereka yang merasa dirinya berbeda dengan orang-orang lain
atau merasa dirinya itu lebih tinggi dari yang lainnya, sehingga berakibat
ingin diperlakukan berbeda dari yang lainnya.
B.
MASA ROMAWI
1.
Masa Kerajaan
Yaitu masa Koningschap atau
kerajaan. Yang jadi pimpinan Negara seorang raja, sehingga bentuk Negara
merupakan monarkhi. Masa ini tidak begitu penting dalam pertaliannya dengan isi
kedaulatan rakyat. Masa tersebut bersifat legend.
2.
Masa Republik
Republik atau
Republiek berasal dari perkataan Res berarti “kepentingan” dan Publica berarti
“umum”. Republik artinya suatu pemerintahan yang menjalankan kepentingan umum.
3.
Masa Prinsipat
Masa ini dimulai
dengan Caesar. Meskipun pada waktu para Princep’s atau raja-raja Romawi belum
mempunyai kewibawaan (gezag) namun pada hakikatnya merupakan oaring yang
memerintah secara mutlak.
5. Cicero
Pahamnya menolak paham Epicurus
yang bersifat individualistis itu, di mana titik berat terletak pada
kepentingan perseorangan. Sedangkan paham Cicero mendapat pengaruh dari paham
zeno yang mendasarkan pahamnya itu kepada ratio yang murni, di mana hukum
positif harus didasarkan pada dalil-dalil hukum alam. Oleh karena itu apabila
hukum positif tadi bertentangan dengan hukum alam, maka kekuatan mengikatnya
lenyap.
C.
MASA ABAD PERTENGAHAN
1.
Augustinus (354-430).
Pada waktu itu yang memegang
peranan utama ialah agama. Ilmu pengetahuan dan segala sesuatunya harus tunduk
dan taat kepada agama. Tujuan Negara merupakan persiapan bagi Negara Tuhan. Di
samping itu justru adanya negara dunia untuk memberantas musuh-musuh gereja
agar dapat tercapai dan tercipta Negara Tuhan.
2.
Thomas Aquino
Mengenai hubungan antara negara
dengan gereja terdapat perbedaan pendapat antara Augustinus dengan Thomas
Aquino. Menurut pendapat Augustinus pada dasrnya Negara dan gereja terpisah
satu sama lain. Sedangkan berdasarkan paham Thomas Aquino Negara itu didukung
serta dilindungi oleh gereja demi tercapainya kemuliaan yang abadi, sehingga
ada hubungan kerja sama antara negara dengan gereja.
3.
Dante Alighieri. (1265-1321)
Tujuan negara menurut pendapatnya
adalah untuk menyelenggarakan perdamaian dunia dengan jalan mengadakan
undang-undang yang sama bagi semua umat.
Hukum olehnya diartikan dan
diterjemahkan sebagai hubungan benda dan pribadi antara manusia dengan manusia,
justru karena inilah keutuhan masyarakat akan tetap terjamin.
Dante seorang realis. Akhirnya
dapat disimpulkan bahwa ia mendambakan kekuasaan kaisar diatas segala-galanya
tanpa ia harus menolak akan kewenangan paus yang sudah disudutkan dalam kubu
kerohaniannya. Karena kaisar pun menjelma atas dasar kemauan Tuhan atas segenap
hamba sahayanya.
4.
Marsiglo di Padua (1270-1340)
Ia berpandangan bahwa Negara
sebagai kekuasaan sedunia diganti oleh negara sebagai pusat kekuasaan tetap
yang berdiri lepas dengan hubungan sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi seperti
gereja. Pun meskipun ia tinggal di lingkungan kaisar tersebut, namun tidak
menceritakan perihal kekaisaran, bahkan rakyat diperbolehkan menghukum para
penguasa bilamana melanggar undang-undang.
D.
MASA RENAISSANCE
1.
Niccolo Machiavelli (1469-1527)
Tujuannya adalah
untuk mencapai cita-cita atau tujuan politik demi kebesaran dan kehormatan
Negara Itali, agar menjadi seperti masa keemasan Romawi. Untuk diperlukan
kekuatan dan kekuasaan yang dapat mempersatukan daerah-daerah sebagai negara
tunggal. Sebab pada waktu itu Italia terpecah belah atas kekuatan-kekuatan,
seperti: kerajaan Naples, Roma dan Negara Gereja, Venesia, Modena, Lucca,
Piombino, sehingga tidak terdapat kestabilan politik. Ditambah lagi usaha-usaha
pihak Spanyol, Prancis, Jerman yang berkehendak menguasainya. Dalam usaha kea
rah itu tidak perlu diingat moral dan kesusilaan sebab moral dan kesusilaan itu
hanyalah merupakan kenang-kenangan belaka.
2.
Jean Bodin (1530-1596)
Ia seorang pemikir
yang mengerti benar praktek-praktek hidup dan mendasarkan pendapatnya itu atas
penyelidikan-penyelidikan peristiwa dalam sejarah, karenanya ia mengerti
kecenderungan akan pemerintahan absolute serta paham akan nilainya.
3.
Aliran Monarchomachen.
Artinya pembenci
raja atau musuh-musuh raja. Pengertian tersebut tidaklah mengenai sasarannya,
karena hanya ditujukan pada perlawanan terhadap keburukan-keburukannya yang
tertentu saja juga tidak kepada pemerintahan yang bersifat absolute atau
terhadap rajanya sendiri.
a.
Pemuka-pemuka
dari golongan ini termasuk Hotman,
Brutus, Buchanan, althusius, Mariana, Bellarmin, Suarez, dan Milton
Persoalannya merupakan hal yang
lama, yaitu terhadap hubungan antara agama dengan negara dalam keadaan baru
sehingga bentuk persoalan berlainan disebabkan gerakan pembaharuan agama dan
absolutism, hal itu telah terlihat dari karya-karya kaum reformator.
b.
Bellarmin (1542-1621)
Menyatakan bahwa teori bentuk
Negara yang baik adalah monarkhi absolute, akan tetapi nyatanya dalam praktek
menimbulkan keadaan yang sebaliknya disebabkan kemerosotan akhlak manusia.
c.
Francesco Suarez (1548-1617)
Dalam tulisannya diuraikan
hubungan antara raja, hukum Tuhan dan hukum alam. Maka semua makhluk yang
bersusila dalam segala hubungannya ditentukan oleh undang-undang. Dan peraturan yang dikeluarkan oleh seorang
raja yang tak beragama atau tunasusila tidaklah mengikat rakyat-rakyatnya,
karena itu peraturan-peraturan hukum-alam lebih tinggi kekuasaannya daripada
kekuasaan manusia apa pun juga.
d.
John Milton
Miltonlah yang menyetujui
pelaksanaan hukuman mati terhadap raja Inggris Charles I.
Kemudian ia menjawab pernyataan
“Dengan hak apakah raja memerintah?” Menurut pendapatnya rakyat menjadi sumber
dari kekuasaan pemerintah, sehingga kedaulatan rakyat itu memang benar ada.
E.
MASA HUKUM KENEGARAAN POSITIF (Pertumbuhan dan perkembangan
aliran Deutsche Publisizten)
1.
Fase
pertama: K.F. von Gerber dan Paul Laband
Aliran Deutsche Publizten
Schule yang dipelopori oleh Von Gerber timbul sebagai reaksi, baik terhadap
hukum Romawi maupun terhadap hukum alam.
Reaksi terhadap hukum Romawi:
Reaksi yang
menghendaki agar cara menjalankan hukum public janganlah disesuaikan dengan
cara yang dilakukan terhadap hukum perdata. Hal ini berarti bahwa bagi hukum
public sewajarnya mencari objek dan metode sendiri yang serasi dengan
sifat-sifat hukum public sendiri, sehingga hukum pulik akan dijadikan ilmu pengetahuan
yang berdiri sendiri.
Reaksi terhadap hukum alam:
Sebagaimana
diketahui hukum alam telah membedakan antara kodrat manusia dan kodrat benda.
Baik untuk kodrat manusia maupun untuk kodrat benda dipakai metode penyelidikan
deduktif, dengan pikiran semata-mata dapat dipikirkan apa yang menjadi isi budi
Tuhan. Dan kemudian atas penyelidikan budi Tuhan itu diketemukanlah hukum alam.
Atas pemikiran yang
demikianlah timbul reaksi yang menimbulkan positivisme.
2.
Fase kedua : Bluntschli dan Georg
Jellinek
Zweisieten theorie,
yaitu suatu teori yang memandang negara dari 2 (dua) segi, ialah;
1.
Segi sosiologis :
Yaitu suatu pandangan yang
membicarakan Negara sebagai gejala peristiwa social atau soziales Faktum; dan
2.
Segi yuridis :
Yaitu suatu pandangan yang
membicarakan negara sebagai
bangunan-bangunan (lembaga-lembaga) hukum atau rechsliche Institution.
Selanjutnya
dengan diketemukannya Zweiseiten-theorie, maka baik Allgemeine Staatslehre
maupun Besondere Staatslehre itu terbagi masing-masing atas 2 (dua) bagian,
yaitu:
Pada
Allgemeine Staatslehre:
a.
Allgemeine
Soziale Staatslehre:
Yaitu Negara dilihat dari sudut
sosiologis yang merupakan gejala peristiwa social maupun Soziale Faktum.
b.
Allgemeine
Staatsrechtslehre:
Yaitu negara dilihat dari sudut
yuridis yang merupakan bangunan-bangunan atau lembaga-lembaga negara ataupun
rechtsliche Institution.
Sedangkan pada
Besondere Staatslehre, masing-nasing:
a.
Individuelle
Staatslehre:
Yaitu Negara dilihat secara
sosiologis yang merupakan gejala peristiwa social ataupun Soziales Faktum.
b.
Spezielle
staatslehre:
Yaitu Negara dilihat secara
yuridis yang merupakan bangunan-bangunan atau lembaga-lembaga hukum ataupun
rechtsliche Institution.
3.
Fase ketiga: Hans kelsen
Hans kelsen menganggap bahwa Negara itu merupakan kesatuan tata
hukum atau normodening (behorenordening), yaitu tata ysng member pedoman
terhadap tingkah laku manusia apa yang seharusnya dijalankan dan tidak
dijalankan.
Jadi metode
normalogis yaitu suatu metode yang dalam proses penyelidikannya membuat norm
menjadi ordering dengan norm itu harus dimasak secara logis dengan tidak
mengimgat akan factor perasaan., agar menjadi suatu system atau ilmu
pengetahuan.
F.
MASA ILMU POLITIK SEBAGAI ILMU YANG BERDIRI SENDIRI
Dalam mengejar dan
mengarahkan diri kepada nilai-nilai mutlak manusia hanyalah mencapai
nilai-nilai mutlak itu manusia hanyalah mencapai dan berada dalam dunia
kebudayaan yang terdiri atas dua bentuk:
1.
Bentuk
kasar atau prailmu pengetahuan yang mengandung:
a. Pikiran Rakyat; dan
b. Bahasa rakyat.
2.
Bentuk
khusus atau ilmu pengetahuan yang mengandung:
a. Ilmu pengetahuan;
b. Etika;
c.
Estetika.
Adalah barang
mustahil bagi manusia untuk mencapai kebenaran sejati, sebab manusia adalah
manusia dengan segala cacat-cela yang ada padanya, tiada daya tiada upaya.
Staatslehre Hermann
Heller dapat dilihat dari 2 sudut yaitu:
1.
Dari
Sudut Positif
Yaitu sebagai reaksi terhadap
Georg Jellinek yang menganggap ilmu politik merupakan ilmu pengetahuan yang
tidak berdiri sendiri, karena hanyalah menjalankan, melarapkan dan
mempraktekkan segala hasil penyelidikan yang diperoleh ilmu negara untuk
mencapai suatu tujuan tertentu.
2.
Dari
Sudut Negatif
Yaitu melancarkan kritik terhadap
Hans Kelsen atas bukunya yang berjudul Allgemeine Staatslehre dan Reine
Rechslehre.
Comments
Post a Comment