Minggu yang lalu ada perbedaan dalam
wacana mengenai kebijakan fiskal yang cukup menarik. Fihak pemerintah,
khususnya Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan, menyatakan bahwa mereka
ingin mengadakan stimulus fiskal yang sedikit lebih besar untuk tahun anggaran
2006. Defisit APBN mereka suka tetapkan pada tingkat 1,1% dari PDB.
Sementara PDB ditetapkan Rp 3040,77. Di lain fihak, sentimen di DPR lebih
konservatip dan tidak ingin (terlalu) melebihi kesepakatan yang semula yang
mematok defisit APBN 2006 pada tingkat 0,6% dari PDB. Akhirnya,
dikabarkan, dicapai kompromis pada tingkat 0,7% dari PDB (Rp 22.43
trilyun). Maka sebelumnya ada perbedaan wacana antara pemerintah dan DPR
yang menyangkut jumlah lebih dari Rp 10 trilyun. Yang menjadi masalah
adalah semangat siapa yang paling “baik”, yakni semangat pemerintah yang mau
memberikan stimulus ekonomi yang lebih besar, atau sikap DPR yang lebih
berhati-hati (prudent)? Akhirnya, ini merupakan pilihan yang subyektip,
dan kami lebih condong membenarkan DPR.
Kebijakan fiskal di tahun 2006 lebih
baik yang berhati-hati ketimbang yang sedikit mau “lepas”. Alasan utama
adalah momok inflasi yang telah sangat mengganggu tahun 2005. Inflasi
tahun 2005 menurut Bank Indonesia bisa mencapai 14%. Di lain fihak,
pemerintah memperkirakan inflasi tahun 2005 tidak akan melebihi 12%.
Kalau pun angka pemerintah ini lebih benar, maka inflasi yang 12% setahun pun
merupakan inflasi yang cukup tinggi dan yang mulai mengganggu, bahkan bisa
mengancam merusak, sendi-sendi ekonomi dan sosial.
Laju pertumbuhan ekonomi tahun 2005
sekarang diperkirakan tidak akan melebihi 5,7 atau 5,8 persen, artinya masih di
bawah 6% setahun. Untuk tahun 2006 maka pemerintah lebih optimistik dan
mematok laju pertumbuhan ekonomi pada tingkat 6,2%, dinaikkan sedikit dari
optimisme semula yang mematok angka 6,1%. Maka laju pertumbuhan yang
sedikit di atas 6% setahun ini mau digenjot oleh spending pemerintah yang
merupakan stimulus fiskal. Apa “salahnya” cara berfikir demikian?
Salah berfikir sebetulnya juga
tidak, hanya kurang berhati-hati, kurang prudent. Stimulus kepada ekonomi
tidak selalu harus datang dari (anggaran belanja) pemerintah. Bisa juga,
bahkan lebih baik dari sektor swasta. Sektor swasta yang tertarik
memperbesar investasi dan tertarik untuk mengekspor lebih banyak.
Investasi dan ekspor, dan kedua ini memang sangat erat berhubungan, merupakan
motor ekonomi yang lebih ampuh ketimbang stimulus fiskal. Dunia swasta hanya
memerlukan iklim yang stabil. Kalau iklimnya dipandang terlalu inflator
maka investor akan lebih berhati-hati.
Tetapi, pemerintah ingin merangsang
perkembangan ekonomi yang lebih menciptakan kesempatan kerja. Misalnya
dengan menggenjot sektor pertanian dan memperbaiki infrastruktur yang bisa
menopang sektor pertanian dan pembangunan desa. Ini semangat yang benar.
Akan tetapi, hasil fiskal dari kenaikan harga BBM yang lebih dari 100% dan yang
sangat bisa menekan besar subsidi BBM, bisa dipakai untuk keperluan ini.
Tetapi, biasanya, keperluan juga melebihi persediaan dana. Keperluan
untuk membangun ekonomi rakyat menyangkut tambahan anggaran untuk sektor
kesehatan, pendidikan dan infrastruktur yang mendukung ekonomi rakyat
(pedesaan) demikian. Jumlah keperluan selalu melebihi persediaan
dana. Ini benar, tetapi sikap kita seharusnya jangan ingin mengejar
segala-galanya agar bisa dicapai dalam satu tahun. Pekerjaan
menstimulasikan ekonomi rakyat merupakan tugas yang terus menerus, dan hasilnya
baru bisa dirasakan setelah jangka menengah atau panjang.
Kalau dalam tahun 2006 mau diberi
stimulus fiskal yang cukup besar maka selalu ada momok bahwa tekanan inflasi
yang di tahun 2005 sudah terlalu tinggi akan berlanjut di tahun 2006 oleh
karena pengaruh inflationary expectations dari masyarakat dan pasar.
Mengapa kenaikan harga pada ujung tahun 2006 begitu tinggi? Pertama oleh
karena pengaruh kenaikan harga BBM, kedua oleh pengaruh musiman, yakni
pengeluaran masyarakat yang lebih besar menjelang Lebaran. Akan tetapi,
sangat mungkin juga ada pengaruh “psikologis inflasi” yang sedang terjangkit di
masyarakat. Maka baik kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter harus
kedua-duanya berusaha sekuat-kuatnya menentang arus sentimen ini.
Sekarang seolah-olah sebagian terbesar tanggung jawab
menekan inflasi diletakkan kepada pundak Bank Indonesia. BI ini sudah
menaikkan suku bunganya, akan tetapi rupanya belum cukup. Untuk menaikkannya
lebih tinggi maka BI pun cemas bisa merugikan ekonomi dan merugikan neracanya
sendiri. Maka dalam keadaan inflator yang cukup tinggi ini kebijakan
fiskal sebetulnya harus contractionary (menciut), misalnya dengan menciptakan
surplus. Jangan terlalu mengejar angka pertumbuhan.
Comments
Post a Comment