Keuangan negara mengalami kesulitan
besar karena harga minyak bumi melompat sampai di atas $60 per barrel.
Ekuivalennya per liter dari harga ini adalah 60 x 10.000 : 159 = Rp
3.773. Kalau biaya pengilangan dan distribusi ditambah maka biaya satu liter
BBM rata-rata menjadi sekitar Rp 4.000. Tidak banyak perbedaan antara
biaya produksi bensin, solar dan minyak tanah karena semuamya merupakan hasil
kolom pengilangan. Maka kalau BBM demikian dijual oleh Pertamina dengan
harga sekitar Rp 2000 per liter maka ini hanya separoh dari harga produksi, dan
Pertamina rugi besar sekali. Defisit Pertamina harus ditombok oleh
pemerintah, tetapi Departemen Keuangan juga kewalahan menanggung beban sampai
lebih dari Rp 100 trilyun setahun. Satu persen dari PDB Indonesia adalah
sekitar Rp 25 trilyun. Menanggung beban fiskal sekitar 4% dari PDB terang
tidak mungkin. Untuk melindungi anggaran belanjanya maka Dep. Keuangan
mematok batas subsidi yang bisa ditanggung. Sebagai reaksi maka Pertamina
juga mematok suatu kuota untuk penyediaan BBM yang subsidinya terlalu besar,
yakni minyak tanah, solar dan bensin premium. Akibatnya, tidak semua
permintaan pelanggan dapat dilayani, dan dampak yang tampak adalah gejala antre
minyak tanah, solar dan bensin premium di sejumlah tempat. Biasanya
Jakarta terlindungi oleh karena terlalu sensitip secara politis. Maka
kekurangan mula-mula dilaporkan dari luar Jawa, akan tetapi belakangan ini
berbagai tempat di Jawa juga menjadi korban.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
dari jarak jauh di New York, memerintahkan Pertamina untuk "menyiram"
BBM berapa pun permintaannya, agar tidak timbul antre, akan tetapi itu adalah
perintah yang rethorik dan populistik saja, karena kiranya tidak akan
dihiraukan oleh Pertamina yang akan dirugikan terlalu besar karena Dep.
Keuangan tidak akan mengganti semua ruginya. Mungkin untuk sebentar Direktur
Utama Pertamina akan melayani perintah publik Presiden, karena mau tampak
tunduk, akan tetapi tidak ada jaminan kelangsungannya.
Komisi DPR memberikan dua alternatip
kepada pemerintah. Alternatip pertama adalah tidak ada kenaikan harga BBM dan
defisit anggaran belanja naik sampai mendekati dua persen dari PDB. Alternatip
kedua adalah harga BBM dinaikkan, tetap masih ada kerugian besar pada
penjualannya, akan tetapi defisit APBN bisa diturunkan sampai sedikit di bawah
1% PDB.
Sebetulnya tidak ada alternatip yang
tanpa kenaikan harga BBM karena subsidi BBM sebesar Rp 113,7 trilyun dan
defisit anggaran sebesar Rp 46,3 trilyun (1,7% PDB) tidak bisa dibiayai/ditutup.
Maka alternatip kedua, yakni subsidi BBM Rp 89,2 trilyun dan defisit anggaran
sebesar Rp 25,1 trilyun (0,9% PDB) menjadi opsi satu-satunya yang harus
dilaksanakan.
Fihak-fihak yang keberatan terhadap
kenaikan harga BBM menandaskan bahwa kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan
harga sembako dan tingkat inflasi sehingga memberatkan beban hidup rakyat. Opsi
kedua akan menaikkan harga BBM dan tingkat inflasi. Dari pengalaman maka
inflasi tambahan karena kenaikan harga BBM adalah antara satu dan dua persen,
sehingga inflasi tahunan akan naik dari (sasaran) 7,5-8% menjadi mendekati 10%.
Inflasi demikian bersifat "sekali" (eenmalig, one time only) saja
karena sesudah itu tercapai keseimbangan baru.
Ada pertanyaan apakah tidak mungkin
kenaikan harga BBM dihalau, dan dicari sumber pembiayaan untuk extra-deficit Rp
46,3 – Rp25,1 = Rp 21,2 trilyun, atau ekuivalen $ 2,1 milyar? Jawab dari staf
Dep. Keuangan sukar bahkan impossible. Kalau zaman dulu maka "cetak saja
uang yang diperlukan itu". Sekarang secara peraturan tidak bisa lagi.
Kalaupun Dep. Keuangan menggunakan suatu pos nomimal yang ada dan disebut
"saldo sisa anggaran" yang tersimpan di Bank Indonesia, maka
pengeluaran demikian akan mempunyai dampak moneter, alias tambahan inflasi.
Maka pada alternatip satu pun sebetulnya dampak inflasi tidak bisa dilekakkan.
Lagipula, pasar akan mencemaskan kemampuan serta kualitas dari kebijakan fiskal
pemerintah dan kecemasan pasar demikian merupakan "ancaman inflasi" (inflationary
overhang oleh karena expectations). Maka alternatip kedua jauh lebih aman, dan
oleh staf Dep. Keuangan memang dilihat sebagai satu-satunya alternatip. oleh
karena ). Maka alternatip kedua jauh lebih aman, dan oleh staf Dep. Keuangan
memang dilihat sebagai satu-satunya alternatip.
Dalam kondisi ekonomi-moneter yang sangat sulit itu maka
sebetulnya kita harus bersikap realistik. Kita tidak boleh mengejar tiga
sasaran sekaligus, yakni inflasi terkendali, kurs rupiah stabil, dan laju
pertumbuhan PDB cukup baik (misalnya 6% setahun). Kalau pemerintah harus
menancap rem untuk mengendalikan inflasi maka sasaran pertumbuhan PDB harus
dilepaskan. Kalau kurs rupiah harus tetap dan stabil maka angka inflasi harus
rendah sekali ( di bawah 5% setahun). Kalau ini tidak bisa, dan untuk sementara
harus menerima inflasi 8-9% setahun, maka kurs rupiah tidak bisa dipegang.
Comments
Post a Comment