Setiap kali menjelang akhir tahun
kita mengharapkan tahun yang datang lebih baik. Perkembangan tahun
sekarang sungguh tidak terlalu menggembirakan. Walaupun pertumbuhan ekonomi di
triwulan pertama tahun 2005 masih baik, yakni sekitar 6,1% ukuran tahunan,
namun pada triwulan-triwulan berikutnya pertumbuhan ini turun. Pada triwulan
keempat ada kejutan besar berupa kenaikan harga-harga BBM. Ini
menimbulkan inflasinya sendiri yang angkanya juga lebih besar daripada yang
diperkirakan. Kalangan pemerintah memperkirakan dampak inflasi tambahan
karena kenaikan harga BBM ini sekitar 5%, akan tetapi nyatanya antara tujuh dan
delapan persen, oleh karena harga-harga pangan dan produk pangan ikut
naik. Ini menandakan bahwa di masyarakat ada inflationary expectations
yang masih cukup tinggi.
Inflasi tinggi pada triwulan terakhir tahun 2005 ini belum
akan reda di triwulan pertama tahun 2006. Memerlukan enam bulan untuk
menghilangkan dampaknya. Bahkan kalangan Bank Indonesia agak cemas, di
triwulan ketiga pun masih akan terasa buntut inflasi. Maka prospek
ekonomi untuk tahun 2006 sungguh tidak terlalu cerah. Laju ekonomi tahun
2005 mungkin hanya mencapai 5,4% (di bawah angka sasaran 6%). Ada kemungkinan
bahwa kinerja pertumbuhan ekonomi tahun 2006 tidak akan lebih baik.
Ini terutama disebabkan investasi tidak akan optimal. Investor swasta akan bersikap menunggu karena melihat ketidakpastian yang masih cukup besar, juga dalam kebijakan pemerintah. Tingkat konsumsi juga tidak akan terlalu kuat karena daya beli di masyarakat terpukul oleh kenaikan harga-harga. Investasi yang masih bisa diharapkan untuk sedikit menstimulasi ekonomi di tahun 2006 adalah investasi pemerintah, terutama kalau proyek-proyek (DIPA) yang tidak atau belum bisa dilaksanakan di ujung tahun 2005 bisa dicarry-over ke tahun 2006. Oleh karena ini maka sasaran defisit APBN untuk tahun 2006 akan lebih besar. Defisit membesar dari (rencana) 0,7% PDB menjadi 1,1% PDB (1% PDB akan sebesar sekitar Rp 30 trilyun).
Asal saja defisit yang lebih besar ini masih bisa dibiayai dengan cara-cara yang non-inflator, tidak perlu ditakuti. Bank Indonesia juga sudah sadar pembatasan ini. Mengusahakan pembiayaan tambahan 0,5% PDB, atau sekitar Rp 15 trilyun, secara non-inflator tidak bisa dipandang soal mudah. Pemerintah tidak mau menambah pinjaman luar negeri lagi. Dana-dana dalam negeri masih cukup ada, tetapi Departemen Keuangan dan Bank Indonesia harus sangat berhati-hati dan “profesional” mengelola pasar uang dan modal dalam negeri. Dampaknya kepada sektor swasta (yang disebut “crowding out”) kalau pemerintah terlalu banyak menyedot dana-dana dalam negeri juga harus diperhatikan. Pejabat Bank Indonesia pada suatu panel belakangan ini menyadari ini, sehingga kita bisa merasa cukup aman.
Dengan segala pembatasan pada ekonomi makro yang masih menguasai tahun 2006 itu, bagaimana prospek pengurangan kemiskinan dan penambahan kesempatan kerja yang dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika dilantik menjadi presiden? Pasti tidak akan tercapai. Tahun 2006 masih harus dipandang sebagai tahun konsolidasi dari ekonomi yang telah terpaksa menerima pukulan-pukulan besar di tahun 2005. Kalau laju pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2006 tidak bisa diharapkan melebihi 5,5% maka hanya tercapainya serta konsolidasi stabilitas ekonomi yang harus dipentingkan. Sasaran-sasaran lain untuk sementara “dinomorduakan” saja.
Sebetulnya masih ada satu “jalan keluar” yang harus ditempuh, yakni meneruskan, bahkan menggenjot segala macam reformasi, terutama yang bersifat deregulasi atau liberalisasi (mencabut peraturan-peraturan yang menghambat perkembangan ekonomi) untuk membuat ekonomi Indonesia lebih fleksibel. Suatu contoh kecil: kalau asing diizinkan membeli rumah atau real estate maka ini akan membuka pasar dan kesempatan kerja baru.
Dalam batas-batas tertentu APBN 2006, pemerintah juga masih bisa memberikan kompensasi sosial. Setelah subsidi BBM dikurangi maka ada sejumlah dana (sekitar Rp 50 trilyun) yang bisa dipakai untuk meningkatkan pengeluaran di tiga bidang, yakni pendidikan, kesehatan dan infrastruktur pedesaan. Sayang APBN 2006 masih sangat dibebani oleh pos angsuran utang, yang melebihi Rp 90 trilyun. Bagaimana pos ini bisa dikurangi pada waktu ini belum ada titik terang. Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas juga sudah menampik balon percobaan Kepala Bappenas, Paska Suzetta, untuk mengusahakan potongan (haircut) pinjaman luar negeri. Kemungkinan restrukturisasi utang pemerintah yang lain menyangkut utang dalam negeri, khususnya surat berharga yang belum di tangan publik dan masih dipegang oleh bank-bank (BUMN) besar. Tetapi, sikap menteri keuangan/kepala Bappenas tampak sangat konservatif.
Ini terutama disebabkan investasi tidak akan optimal. Investor swasta akan bersikap menunggu karena melihat ketidakpastian yang masih cukup besar, juga dalam kebijakan pemerintah. Tingkat konsumsi juga tidak akan terlalu kuat karena daya beli di masyarakat terpukul oleh kenaikan harga-harga. Investasi yang masih bisa diharapkan untuk sedikit menstimulasi ekonomi di tahun 2006 adalah investasi pemerintah, terutama kalau proyek-proyek (DIPA) yang tidak atau belum bisa dilaksanakan di ujung tahun 2005 bisa dicarry-over ke tahun 2006. Oleh karena ini maka sasaran defisit APBN untuk tahun 2006 akan lebih besar. Defisit membesar dari (rencana) 0,7% PDB menjadi 1,1% PDB (1% PDB akan sebesar sekitar Rp 30 trilyun).
Asal saja defisit yang lebih besar ini masih bisa dibiayai dengan cara-cara yang non-inflator, tidak perlu ditakuti. Bank Indonesia juga sudah sadar pembatasan ini. Mengusahakan pembiayaan tambahan 0,5% PDB, atau sekitar Rp 15 trilyun, secara non-inflator tidak bisa dipandang soal mudah. Pemerintah tidak mau menambah pinjaman luar negeri lagi. Dana-dana dalam negeri masih cukup ada, tetapi Departemen Keuangan dan Bank Indonesia harus sangat berhati-hati dan “profesional” mengelola pasar uang dan modal dalam negeri. Dampaknya kepada sektor swasta (yang disebut “crowding out”) kalau pemerintah terlalu banyak menyedot dana-dana dalam negeri juga harus diperhatikan. Pejabat Bank Indonesia pada suatu panel belakangan ini menyadari ini, sehingga kita bisa merasa cukup aman.
Dengan segala pembatasan pada ekonomi makro yang masih menguasai tahun 2006 itu, bagaimana prospek pengurangan kemiskinan dan penambahan kesempatan kerja yang dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika dilantik menjadi presiden? Pasti tidak akan tercapai. Tahun 2006 masih harus dipandang sebagai tahun konsolidasi dari ekonomi yang telah terpaksa menerima pukulan-pukulan besar di tahun 2005. Kalau laju pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2006 tidak bisa diharapkan melebihi 5,5% maka hanya tercapainya serta konsolidasi stabilitas ekonomi yang harus dipentingkan. Sasaran-sasaran lain untuk sementara “dinomorduakan” saja.
Sebetulnya masih ada satu “jalan keluar” yang harus ditempuh, yakni meneruskan, bahkan menggenjot segala macam reformasi, terutama yang bersifat deregulasi atau liberalisasi (mencabut peraturan-peraturan yang menghambat perkembangan ekonomi) untuk membuat ekonomi Indonesia lebih fleksibel. Suatu contoh kecil: kalau asing diizinkan membeli rumah atau real estate maka ini akan membuka pasar dan kesempatan kerja baru.
Dalam batas-batas tertentu APBN 2006, pemerintah juga masih bisa memberikan kompensasi sosial. Setelah subsidi BBM dikurangi maka ada sejumlah dana (sekitar Rp 50 trilyun) yang bisa dipakai untuk meningkatkan pengeluaran di tiga bidang, yakni pendidikan, kesehatan dan infrastruktur pedesaan. Sayang APBN 2006 masih sangat dibebani oleh pos angsuran utang, yang melebihi Rp 90 trilyun. Bagaimana pos ini bisa dikurangi pada waktu ini belum ada titik terang. Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas juga sudah menampik balon percobaan Kepala Bappenas, Paska Suzetta, untuk mengusahakan potongan (haircut) pinjaman luar negeri. Kemungkinan restrukturisasi utang pemerintah yang lain menyangkut utang dalam negeri, khususnya surat berharga yang belum di tangan publik dan masih dipegang oleh bank-bank (BUMN) besar. Tetapi, sikap menteri keuangan/kepala Bappenas tampak sangat konservatif.
Comments
Post a Comment