Pada umumnya, Pemerintah sadar bahwa
keadaan ekonomi tidak terlalu baik. Ekonomi jangka pendek hidup di bawah
bayangan inflasi yang sangat tinggi, kira-kira 18% setahun, terutama setelah
kenaikan harga BBM bulan Oktober. Laju pertumbuhan ekonomi tahun ini dan
tahun depan pun tidak akan mencapai sasaran pemerintah. Untuk tahun ini
kalau sedikit di atas 5,3% sudah bagus. Untuk tahun depan maka sasaran
pemerintah adalah 6,2% akan tetapi ini sudah pasti tidak akan tercapai.
Apakah laju pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa sedikit lebih baik daripada
tahun 2005, itu pun pada waktu ini tampak tidak pasti.
Triwulan pertama tahun 2005 masih menampakkan laju
pertumbuhan ekonomi yang baik, yakni 6,2% ukuran setahun, akan tetapi ekonomi
melemah sejak itu, dan pengaruh kenaikan harga BBM yang lebih dari 100% memukul
konjungtur ekonomi ini. Ini tidak berarti bahwa kebijakan menaikkan harga
BBM itu salah. Mungkin kenaikannya terlalu tinggi, akan tetapi itu adalah
akibat harga-harga itu tidak dinaikkan secukupnya sewaktu pemerintahan
Megawati Soekarnoputri. Setelah disesuaikan maka anggaran belanja tidak
mampu memanfaatkan kenaikan penerimaan untuk menstimulasi ekonomi oleh karena
peraturan-peraturan baru dalam penyusunan anggaran belanja pemerintah mengenai
Daftar Isian Proyek Anggaran (DIPA). Maka sampai November 2005 secara
nyata ada surplus.
Maka pada waktu ini ekonomi mengalami inflasi tinggi dan pertumbuhan yang “kurang darah”. Maka yang merupakan pilihan kebijakan yang pelik adalah, apakah yang harus diprioritaskan: pendinginan inflasi atau stimulasi ekonomi? Ini tampak pada pesan atau program Presiden dan para menteri.
Presiden pesankan enam agenda: 1. Menyehatkan makro ekonomi, 2. Mengendalikn inflasi, 3. Memperbaiki arus barang kebutuhan pokok, 4. Menciptakan lapangan kerja baru dengan merealisasikan pembangunan infrastruktur yang padat karya, 5. Menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan kontribusi investasi dan ekspor, dan 6. Memperbaiki neraca pembayaran, baik neraca modal maupun transaksi berjalan. Menko Perekonomian Boediono menekankan: 1. Memantapkan stabilitas ekonomi, inflasi dan kurs rupiah, 2. Menggerakkan roda perekonomian, 3. Memperbaiki koordinasi pemerintah dengan Bank Indonesia.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menekankan: 1. Menurunkan tingkat inflasi hingga satu digit, 2. Mendorong penciptaan lapangan kerja, 3. Mengurangi tingkat kemiskinan.
Sementara itu, Bank Indonesia akan meneruskan kebijakan moneter yang ketat untuk meredam inflasi dan terpaksa menaikkan suku bunga. Mudah ada konflik antara sasaran meredam inflasi di satu fihak, dan menggerakkan roda perekonomian di lain fihak. Maka bagaimana mencari jalan tengah diantara kedua sasaran itu? Salah suatu kiat adalah untuk tidak terlalu takut kepada inflasi tinggi sekarang oleh karena sebetulnya tidak disebabkan oleh kelebihan permintaan. Inflasi lebih banyak karena supply adjustment.
Kalau Bank Indonesia harus mengurangi tekanan inflasi dengan menaikkan suku bunga maka sektor swasta akan direm dalam ekspansinya. Maka sebagai imbangan pemerintah harus melonggarkan kebijakan fiskalnya, artinya jangan takut mengeluarkan uang untuk menstimulasi ekonomi. Sudah tentu semuanya dalam batas-batas yang wajar. Defisit APBN juga harus bisa dibiayai lewat cara-cara yang non-inflator.
Anehnya, hanya surat kabar berbahasa Inggris, The Jakarta Post, yang hari Jum’at yang lalu menurunkan kepala berita besar di halaman pertama: “Spending to be key to economic recovery”, dan mengutip Menko Boediono yang bicara di depan pers: “We expect to start unloading government spending for projects in the first quarter next year to help stimulate the economy, since the private sector is still feeling the pinch of the dip”. Pesan ini kurang ditangkap dan ditonjolkan oleh surat-surat kabar yang lain.
Pernyataan yang serupa pernah diucapkan oleh Sri Mulyani ketika masih Kepala Bappenas. Setelah ia menjadi menteri keuangan maka bisa diharapkan akan memegang garis kebijakan yang sama.
Pantas juga dicatat bahwa Menko Perekonomian Boediono akan berusaha keras untuk memperbaiki iklim investasi dengan menyingkirkan segala peraturan yang menghambat. Kinerja ekspor akhirnya juga tergantung dari iklim investasi itu karena barang yang bisa menaikkan ekspor non-migas secara banyak adalah hasil industri manufaktur, bukan lagi komoditi primer. Iklim investasi masih belum terlalu baik dan para investor mengharapkan pemerintah bisa mengadakan reformasi yang efektip di paling tidak dua bidang: perpajakan dan perburuhan.
Maka pada waktu ini ekonomi mengalami inflasi tinggi dan pertumbuhan yang “kurang darah”. Maka yang merupakan pilihan kebijakan yang pelik adalah, apakah yang harus diprioritaskan: pendinginan inflasi atau stimulasi ekonomi? Ini tampak pada pesan atau program Presiden dan para menteri.
Presiden pesankan enam agenda: 1. Menyehatkan makro ekonomi, 2. Mengendalikn inflasi, 3. Memperbaiki arus barang kebutuhan pokok, 4. Menciptakan lapangan kerja baru dengan merealisasikan pembangunan infrastruktur yang padat karya, 5. Menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan kontribusi investasi dan ekspor, dan 6. Memperbaiki neraca pembayaran, baik neraca modal maupun transaksi berjalan. Menko Perekonomian Boediono menekankan: 1. Memantapkan stabilitas ekonomi, inflasi dan kurs rupiah, 2. Menggerakkan roda perekonomian, 3. Memperbaiki koordinasi pemerintah dengan Bank Indonesia.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menekankan: 1. Menurunkan tingkat inflasi hingga satu digit, 2. Mendorong penciptaan lapangan kerja, 3. Mengurangi tingkat kemiskinan.
Sementara itu, Bank Indonesia akan meneruskan kebijakan moneter yang ketat untuk meredam inflasi dan terpaksa menaikkan suku bunga. Mudah ada konflik antara sasaran meredam inflasi di satu fihak, dan menggerakkan roda perekonomian di lain fihak. Maka bagaimana mencari jalan tengah diantara kedua sasaran itu? Salah suatu kiat adalah untuk tidak terlalu takut kepada inflasi tinggi sekarang oleh karena sebetulnya tidak disebabkan oleh kelebihan permintaan. Inflasi lebih banyak karena supply adjustment.
Kalau Bank Indonesia harus mengurangi tekanan inflasi dengan menaikkan suku bunga maka sektor swasta akan direm dalam ekspansinya. Maka sebagai imbangan pemerintah harus melonggarkan kebijakan fiskalnya, artinya jangan takut mengeluarkan uang untuk menstimulasi ekonomi. Sudah tentu semuanya dalam batas-batas yang wajar. Defisit APBN juga harus bisa dibiayai lewat cara-cara yang non-inflator.
Anehnya, hanya surat kabar berbahasa Inggris, The Jakarta Post, yang hari Jum’at yang lalu menurunkan kepala berita besar di halaman pertama: “Spending to be key to economic recovery”, dan mengutip Menko Boediono yang bicara di depan pers: “We expect to start unloading government spending for projects in the first quarter next year to help stimulate the economy, since the private sector is still feeling the pinch of the dip”. Pesan ini kurang ditangkap dan ditonjolkan oleh surat-surat kabar yang lain.
Pernyataan yang serupa pernah diucapkan oleh Sri Mulyani ketika masih Kepala Bappenas. Setelah ia menjadi menteri keuangan maka bisa diharapkan akan memegang garis kebijakan yang sama.
Pantas juga dicatat bahwa Menko Perekonomian Boediono akan berusaha keras untuk memperbaiki iklim investasi dengan menyingkirkan segala peraturan yang menghambat. Kinerja ekspor akhirnya juga tergantung dari iklim investasi itu karena barang yang bisa menaikkan ekspor non-migas secara banyak adalah hasil industri manufaktur, bukan lagi komoditi primer. Iklim investasi masih belum terlalu baik dan para investor mengharapkan pemerintah bisa mengadakan reformasi yang efektip di paling tidak dua bidang: perpajakan dan perburuhan.
Comments
Post a Comment