Investor
first, people second! Bagi rezim neoliberal, globalisasi adalah bagaimana
menjunjung tinggi kedaulatan pasar bebas atau free market.
Cengkeraman neoliberalisme terpancar pada gencarnya
privatisasi dan liberalisasi ekonomi. Mantra neoliberal menempatkan investasi
dan investor di atas segalanya. Setiap kebijakan ekonomi harus tunduk pada
sistem, mekanisme, dan hukum pasar. Tanpa mengikuti dogma itu, kemakmuran
mustahil didapat.
Globalisasi diyakini sebagai era kematian
negara-bangsa (the end of the nation-state). Di bidang ekonomi, peran negara
dilucuti, sebatas penjaga. Neoliberalisme menyebarkan gagasan bahwa hanya
ekonomi yang dikelola perusahaan supranasional (anti state) yang bakal membawa
kesejahteraan. Kasus PT Freeport di Papua dan ExxonMobil di blok Cepu
menegaskan dahsyatnya mantra privatisasi dan liberalisasi ekonomi. Negara bak
macan ompong atas intervensi asing.
Proteksi negara
Sejenak menengok bumi lain. Beberapa negara di
Eropa—dikenal sebagai pendukung pasar bebas—belakangan marak dengan aksi
anti-perusahaan asing (anti takeover movements, The Economist, 4/3/2006). Eropa
yang sedang gencar melakukan gelombang merger lintas negara terbesar, sejak
ledakan dotcom tahun 2000, dikagetkan aksi anti- kepemilikan perusahaan asing
(anti foreign takeovers).
Uni Eropa (UE) mengkritik kebijakan Perancis yang
menyetujui merger dua perusahaan besar Perancis, Suez dan Gaz de France,
sehingga pupuslah peluang kemenangan tender perusahaan raksasa Italia, Enel
Group. Merger itu dinilai sebagai blokade atas investor-investor asing dan
dianggap mendistorsi ekonomi pasar. Merger antara perusahaan nasional
dibolehkan, tetapi tidak dengan perusahaan milik asing.
Jerman menuduh langkah Perancis bertentangan dengan
legislasi UE, kontradiktif dengan European single market. UE menegaskan,
negara-negara akan lebih baik saat mereka berbagi kedaulatan, terutama dalam
monopoli pasar, tidak dalam nasionalisme. Kebijakan Perancis dituduh bukan
untuk mempertahankan kepentingan nasional, tetapi mempertahankan kepentingan
elite dan kroni.
Perancis menolak anggapan merger akan meliberalisasi
pembagian kepemilikan dan menciptakan perusahaan terbesar di dunia. Ia justru
mengontrol (state control) perusahaan nasional dengan membentengi diri dari
dominasi kepemilikan perusahaan asing (foreign ownership). Ini menunjukkan
nasionalisme dan kepemilikan terhadap aset negara.
Upaya proteksi negara terhadap kepemilikan perusahaan
nasional dari pihak asing tidak hanya terjadi di Perancis. Pemerintah Spanyol
mempertahankan perusahaan miliknya, Endesa, dari Jerman yang akan membelinya.
Pemerintah Polandia membendung merger bank yang akan dilakukan modal asing.
Gubernur bank Italia mencegah pihak asing membeli bank milik nasional. Politisi
Korea Selatan berang atas langkah Amerika Serikat membeli KT&G, perusahaan
monopoli tembakau dan ginseng.
Di Rusia, sejak lama terjadi pergulatan antara
proteksionisme dan nasionalisme ekonomi di satu sisi dengan restrukturisasi
bisnis dan globalisasi di sisi lain.
Sikap negara-negara yang antikepemilikan asing itu
merefleksikan apa yang dikemukakan Karl Marx, "Ownership, and hence the
power to exploit, was all, hence socialist governments fateful desire to
nationalize the ’commanding heights’ of their economies."
Nasionalisme (ekonomi) kita
Ribut-ribut soal nasionalisme ekonomi, Indonesia tak
mau ketinggalan, tetapi dengan konteks berbeda. Celakanya, nasionalisme yang
diributkan di Indonesia tidak jelas maksudnya.
Politisi mengecam investasi ExxonMobil 2,5 miliar
dollar AS di ladang minyak blok Cepu. Mereka juga mengecam penambangan PT
Freeport di Papua dan meminta perusahaan itu menghentikan kegiatannya.
Pada saat sama, para politisi memuji keberhasilan
pemerintah menjual saham obligasi negara dua miliar dollar AS. Padahal,
obligasi itu dijual kepada investor asing. Maklum, pemerintah yang market
friendly sedang berupaya menarik investor asing dengan segala cara.
Lebih ironis lagi, banyak investor dalam negeri pindah
ke mancanegara dengan alasan keamanan dan prospek. Tengok Putera Sampoerna yang
berencana menginvestasikan uang 170 juta dollar AS di London Casino. Group
Sinar Mas memilih berinvestasi empat miliar dollar AS di China. Group Salim
menginvestasikan 1,2 miliar dollar AS di negara tirai bambu.
Alhasil, kebijakan dan peran Pemerintah Indonesia di
era globalisasi serba tidak jelas juntrungannya. Mau menerapkan proteksi dan
menggalakkan nasionalisme, tetapi setengah hati.
Barangkali, Indonesia ingin memperjuangkan
nasionalisme ekonomi gado-gado, setengah asin, separo asem, dan sisanya hambar.
Tak karuan!
Comments
Post a Comment