Kalau kita mengamati masalah-masalah yang dihadapi Menteri
Perdagangan sehari-hari maka kesan adalah bahwa ikhtiarnya mencari keseimbangan
antara keperluan mendukung persaingan, dan mengakomodasikan sentimen-sentimen
dalam negeri yang menghendaki proteksi, menyita banyak waktu dan fikiran, dan
akhirnya tidak ada kalangan yang puas sekali. Menemukan keseimbangan
demikian senantiasa adalah sulit dan dilematis. Kalau kita mengambil posisi
bahwa perekonomian kita harus bisa hidup dan berkembang di medan persaingan
internasional maka daya saing perekonomian kita menjadi tarohan utama.
Tetapi mengapa kita harus memilih untuk main di medan permainan global?
Negeri kita cukup besar sebagai pasar untuk bisa mencari kehidupan di dalam negeri
saja. Itu memang bisa, akan tetapi konsekuensinya juga berat.
Negeri kita adalah besar dalam ukuran jumlah penduduk, akan tetapi kalau diukur
dengan besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) maka perekonomian Indonesia relatip
kecil. Besar pasar lebih penting diukur dengan daya beli ketimbang besar
penduduk.
Maka pasar dalam negeri saja tidak cukup untuk meraih pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi untuk memperbaiki keadaan sosial, terutama untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Ekonomi Indonesia harus merupakan ekonomi terbuka, open economy (terhadap dunia). Rumus pertumbuhan untuk ekonomi terbuka demikian adalah (menggenjot) investasi dan ekspor. Akhirnya, hanya investasilah yang dapat menciptakan kesempatan kerja baru dan menambah pendapatan nasional. Karena Indonesia belum bisa menghasilkan alat-alat modalnya sendiri maka ini harus diimpor. Juga banyak bahan baku untuk industri manufaktur masih harus diimpor. Untuk menjamin dan meningkatkan kemampuan mengimpor demikian maka Indonesia harus mampu mengekspor dan setiap tahun kemampuan ekspor ini harus menjadi lebih besar. Antara kebesaran-kebesaran impor, ekspor, investasi dan peningkatan produk nasional ada kaitannya, atau rasio. Misalnya, laju pertumbuhan ekspor harus lebih besar daripada laju pertumbuhan ekonomi. Kalau laju pertumbuhan PDB harus sekitar tujuh persen setahun maka idealnya laju pertumbuhan ekspor harus di atas sepuluh persen setahun. Laju pertumbuhan sektor industri juga harus di atas laju pertumbuhan PDB. Laju pertumbuhan ekspor dan laju pertumbuhan sektor industri manufaktur harus kira-kira sama besarnya, idealnya sekitar 10% setahun. Di masa Orde Baru angka-angka ini kurang lebih tercapai atau didekati. Sejak krisis besar 1998 angka-angka itu belum pulih. Kenaikan ekspor dan sektor industri masih di bawah 10% setahun.
Maka “daya saing nasional” terutama untuk industri menjadi sangat penting. Sayangnya, daya saing nasional itu juga mengalami penurunan sejak krisis besar. Sekarang negara-negara yang sering dipuji dunia internasional adalah Cina, India dan Vietnam. Indonesia masih bisa bertahan persaingan dengan Cina di pasar internasional, akan tetapi hanya dalam beberapa sub-sektor saja yang Indonesia masih punya keunggulan.
Kenaikan ekspor (dan PDB) yang bagus di Cina, India dan Vietnam didukung oleh besar daya saingnya dalam bidang-bidang yang mendasar. Untuk India misalnya bidang IT (Information Technology), untuk Cina iklim investasi yang mampu menarik banyak sekali investor asing (Amerika, Jepang, dsb-nya). Ekspor besar Cina ke Amerika Serikat datang dari ribuan perusahaan asing yang masuk Cina sebelumnya. Vietnam sekarang unggul karena buruhnya rajin sekali, masih murah, suka kerja dan tidak pernah mogok. Comparative advantage Indonesia pada dasarnya terletak pada supply tenaga kerja yang berlimpah, dan kekayaan alamnya. Akan tetapi, sejak tujuh tahun yang lalu ini maka daya saing tenaga kerja Indonesia mengalami erosi. Pasar tenaga kerja kehilangan fleksibilitasnya karena peraturan perundangan memberi proteksi yang terlalu besar kepada buruh.
Daya saing internasional Indonesia harus meningkat. Ini adalah tugas utama pemerintah dalam jangka panjang. Akan tetapi, di jangka pendek maka tuntutan proteksi besar dan secara politis dan sosial tuntutan demikian juga tidak bisa diingkari atau ditolak. Maka pemerintah, khususnya menteri perdagangan, harus pandai mencari keseimbangan. Di mana posisinya menteri tenaga kerja? Apakah tugas utamanya harus memberi proteksi? Ini tidak terang. Akan tetapi, Menteri Perekonomian, dan akhirnya Presiden, harus menetapkan prioritas nasional, entah secara umum, atau kasus per kasus. Contoh lain adalah di bidang pertambangan, yang prioritasnya sekarang digugat oleh gerakan lingkungan hidup. Padahal pertambangan adalah bagian dari sektor kekayaan alam Indonesia yang punya keunggulan dan potensial sangat mampu ekspor. Di Filipina maka Presiden menetapkan bahwa proyek pertambangan yang potensial harus didahulukan terhadap kepentingan lingkungan hidup.
Comments
Post a Comment